Presiden Joko Widodo perlu berlapang dada menerima kritik soal pembangunan infrastruktur yang kurang diperhitungkan secara matang. Dalam debat pada Ahad lalu, calon presiden Prabowo Subianto menyinggung, antara lain, sepinya Bandar Udara Kertajati dan kereta ringan di Palembang. Kritik ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintahan Jokowi.
Pemerintah harus segera membuktikan bahwa sejumlah pembangunan infrastruktur seperti bandara baru dan jalan tol benar-benar bisa menggerakkan roda perekonomian. Ukurannya amat jelas: prasarana itu membuat arus penumpang dan barang di negara kita menjadi lebih lancar dan berbiaya murah.
Sejauh ini manfaat sejumlah proyek infrastruktur belum optimal. Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, misalnya masih merindukan penumpang. Dengan luas 5.000 hektare, bandara senilai Rp 12,2 triliun ini merupakan yang terbesar setelah Soekarno-Hatta. Namun, sembilan bulan setelah peresmian, tingkat keterisiannya baru 20 persen. Hanya 14 penerbangan yang mereka layani sehari-hari, jauh dari target 100 penerbangan per hari.
Meski tergolong daerah padat, kawasan di seputar bandara ituMajalengka, Cirebon, Kuningan, dan sekitarnyabelum menjadi magnet pariwisata. Pemerintah pusat perlu mendorong daerah-daerah ini untuk segera memoles tempat wisata di wilayahnya. Kisah sukses Banyuwangi bisa dijadikan contoh. Wilayah di ujung timur Jawa ini mampu mengembangkan wisata. Tingkat keterisian bandara di sana pun terus meningkat hingga mencapai 80-90 persen.
Sepinya Bandara Kertajati juga karena pengerjaan proyek jalan tol Kertajati-Bandung yang belum selesai. Orang Bandung harus menempuh tiga jam perjalanan untuk mencapai bandara ini. Itu pun hanya bisa dengan mobil pribadi karena belum ada angkutan umum.
Proyek kereta ringan atau LRT Palembang juga setali tiga uang. Dibuka untuk umum setelah perhelatan Asian Games lalu, proyek senilai Rp 11,49 triliun ini rugi bandar. Dengan hanya mengangkut rata-rata 5.500 penumpang per haridi bawah target 30 ribu penumpangpemasukan bulanannya cuma Rp 1 miliar, jauh di bawah beban operasional Rp 10 miliar. Penyebabnya kurang-lebih sama dengan Kertajati, yakni minimnya akses ke stasiun, baik untuk angkutan umum maupun pejalan kaki. Penyesuaian rute angkutan umum baru akan dilakukan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Pemerintah juga perlu memikirkan agar pembangunan jalan tol Jakarta-Surabaya segera memberikan dampak positif bagi perekonomian. Tarifnya yang lumayan tinggi menyebabkan jalan tol ini masih sepi. Mobil pribadi harus membayar lebih dari Rp 300 ribu dari Jakarta ke Surabaya, sementara ongkos tol untuk truk pengangkut logistik mencapai Rp 1 juta.
Harus diakui bahwa sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh Jokowi belum berdampak besar bagi perekonomian. Inilah pekerjaan rumah bagi presiden terpilih. Pemerintah juga harus segera menggenjot sektor lain, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata, agar pembangunan infrastruktur itu tidak menjadi sia-sia.