SANGAT disayangkan calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak banyak membahas isu lingkungan dalam debat pada Ahad malam lalu. Keduanya menyatakan peduli terhadap permasalahan lingkungan, namun komitmen tersebut tak terlihat sepanjang sawala. Isu lingkungan hanya dibahas ala kadarnya, tanpa pernyataan tegas yang menggambarkan visi mereka mengenai arah pembangunan lingkungan.
Dalam hal pengelolaan hutan, kedua calon presiden membatasi diri pada gagasan praktis, seperti upaya pengendalian kebakaran dan penindakan terhadap perusahaan pencemar dan perusak hutan. Keduanya sama sekali tidak membahas fakta yang jauh lebih penting: penyebab utama kerusakan hutan adalah tata kelola yang buruk-kerap diikuti kolusi dan korupsi yang melibatkan korporasi dan birokrasi.
Demikian pula ketika berbicara soal lubang bekas tambang, Jokowi, misalnya, terkesan sangat pragmatis dengan berbangga akan lubang raksasa yang telah menjadi tempat wisata. Semestinya yang dilakukan pemerintah adalah meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang untuk melakukan rehabilitasi. Lubang bekas tambang batu bara perlu mendapat perhatian serius karena menimbulkan problem lingkungan dan sosial.
Kegagapan kedua calon presiden barangkali lantaran mereka tidak memiliki visi yang jelas dan tegas mengenai arah pembangunan lingkungan. Di awal debat, Prabowo hanya berbicara soal swasembada pangan dan air, rencana menurunkan biaya energi, dan mencegah penguasaan asing atas kekayaan nasional. Jokowi, selain menaruh perhatian pada pengembangan biodiesel, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan produksi pangan, memang menyinggung soal lingkungan, tapi hanya sebatas upaya penanggulangan kebakaran hutan dan limbah plastik.
Di bidang lingkungan, salah satu persoalan besar yang menjadi perhatian hampir semua negara adalah isu perubahan iklim akibat pemanasan bumi yang disebabkan oleh polusi karbon. Itulah sebabnya low-carbon economy, atau perekonomian yang ditopang oleh sumber daya karbon yang rendah, telah menjadi tekad politik pemerintah di banyak negara di dunia.
Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil karbon terbesar dan penanda tangan Konvensi Paris soal perubahan iklim, semestinya turut mengejar visi perekonomian rendah karbon. Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, telah lebih dulu memulainya. Melalui visi tersebut, seluruh aktivitas ekonomi otomatis akan terkait dengan target-target lingkungan. Gagasan penggunaan biodiesel, misalnya, harus dilihat dalam konteks pengurangan polusi karbon, bukan sekadar agar lepas dari ketergantungan pada impor.
Begitu pula ketika membahas lubang bekas tambang batu bara. Pemanfaatan sumber energi tertentu diputuskan berdasarkan penelusuran atas jejak karbonnya. Di sini, energi alternatif dan energi terbarukan seharusnya menjadi isu penting, meski sayangnya sama sekali tak disinggung oleh Jokowi ataupun Prabowo dalam debat.
Kampanye masih berlangsung dua bulan lagi. Kita berharap, dalam waktu yang tersisa, kedua calon presiden segera merumuskan visi lingkungan mereka lalu menyampaikannya kepada publik.