Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Remisi dan Mekanisme Seleksi

image-profil

image-gnews
Presiden Jokowi berpidato dalam Pembukaan Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019. Tujuan pelaksanaan Rakernas yakni untuk mengevaluasi pelaksanaan program strategis nasional. TEMPO/Subekti.
Presiden Jokowi berpidato dalam Pembukaan Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019. Tujuan pelaksanaan Rakernas yakni untuk mengevaluasi pelaksanaan program strategis nasional. TEMPO/Subekti.
Iklan

Miko Ginting
Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera

Kekuasaan Presiden Joko Widodo menerbitkan remisi tentu tidak berdampak kepada narapidana semata. Presiden juga harus mempertimbangkan sensitivitas keadilan publik. Ini menjadi sulit karena Presiden berhadapan dengan ratusan atau mungkin ribuan permohonan remisi untuk ditandatangani. Tanpa kecermatan dan kelengkapan informasi serta penyeleksian berjenjang yang ketat, niscaya keputusan itu dapat berujung pada kontroversi.

Kasus mutakhir adalah pemberian remisi terhadap Susrama, seorang terpidana pembunuhan berencana terhadap jurnalis Gde Narendra Prabangsa. Presiden memberikan persetujuan untuk mengubah hukuman terpidana dari penjara seumur hidup menjadi penjara selama kurun waktu tertentu, yaitu 20 tahun. Belakangan, pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengakui lalai memberikan rekomendasi remisi karena tidak melakukan profiling satu per satu kepada calon penerima remisi.

Pada kasus lain, sensitivitas publik juga terganggu karena Presiden secara rutin memberikan remisi kepada terpidana-terpidana kasus tertentu, seperti kasus korupsi. Salah satu yang terjadi baru-baru ini adalah remisi untuk terpidana kasus Bank Century, Robert Tantular. Ia memperoleh pembebasan bersyarat setelah mendapat remisi 77 bulan dari total masa pidana yang harus ia jalani.

Banyak kalangan kemudian memprotes pemberian remisi ini. Namun satu yang perlu didudukkan kembali persoalannya bukan keberadaan remisi sebagai instrumen kebijakan negara. Pemberian remisi pernah digugat untuk dihapuskan, tapi Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 022/PUU-III/2005 menolak permohonan tersebut. Persoalan pokok yang menjadi krusial di sini adalah jenis, mekanisme, dan indikator seleksi terkait dengan pemberian remisi.

Menurut sejarahnya, remisi muncul sebagai hadiah negara kepada warga negara untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda seperti yang diamanatkan dalam Gouvernement Besluit tanggal 10 Agustus 1935. Remisi hadir sebagai instrumen pengampunan (baca: hadiah) negara berupa pengurangan hukuman terhadap terpidana. Untuk itu, menurut sejarahnya, remisi bukanlah hak narapidana, melainkan pemberian negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, dalam perkembangannya, remisi disebutkan sebagai hak dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dan aturan-aturan terkait. Pengkategorian remisi sebagai hak berdampak pada keharusan penjaminan seseorang dapat mengakses hak itu sekaligus memberi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Pada titik ini, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang memperketat syarat pemberian remisi, menjadi persoalan karena hampir mencabut hak terpidana pada kasus tertentu, salah satunya pengguna narkotika.

Sebagai instrumen kebijakan negara, remisi memiliki posisi untuk menegaskan tujuan pembinaan negara kepada para pelaku kejahatan yang sudah memperoleh hukuman. Narapidana diberi harapan oleh negara untuk memperbaiki diri agar mendapat pengurangan hukuman. Selain itu, remisi dalam posisi sebagai sarana kebijakan hukum pidana dalam pengendalian kepadatan di lembaga pemasyarakatan. Pelaku kejahatan yang sudah diputus bersalah dan sedang menjalani hukuman (dibina) itu diseleksi kemudian dikembalikan ke masyarakat.

Untuk itu, usaha memukul rata penghapusan pemberian remisi kepada terpidana sama sekali tidak tepat. Sama tidak tepatnya dengan pemberian remisi yang dilakukan secara "pukul rata" oleh negara kepada terpidana. Sebagai sebuah bentuk kebijakan dan hak yang dibebani syarat tertentu, pemberian remisi dilakukan secara selektif. Tentu ini dilakukan dengan indikator dan mekanisme yang terukur agar kebijakan itu akuntabel.

Saat ini, yang perlu ditagih adalah usaha keras pemerintah untuk menyusun kembali jenis, mekanisme, dan indikator pemberian remisi ini secara tepat dan terukur. Dari sisi jenis, Keputusan Presiden Nomor 174/1999 masih membuka peluang pemberian remisi dengan jenis yang terlampau banyak. Dari sisi indikator, syarat "berkelakuan baik" harus diturunkan menjadi indikator yang terukur. Dari sisi mekanisme, pemeriksaan berjenjang secara ketat sebelum sampai ke meja presiden menjadi sangat penting dan krusial. Ini terutama di tengah kewajiban negara yang belum tunai dalam membentuk lembaga hakim pengawas dan pengamat sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sekali lagi, kita tentu sangat marah terhadap pengurangan hukuman terpidana pembunuhan berencana, korupsi, dan kejahatan lain. Namun bukan berarti remisi harus dihapuskan secara serta-merta. Pemerintah harus merombak aturan pemberian remisi ini secara menyeluruh supaya tidak ada orang yang tidak patut menerimanya, sementara di tempat yang lain, yang patut menjadi tidak dapat menerima.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

2 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

5 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

21 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

22 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

42 hari lalu

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

45 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

45 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

51 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

51 hari lalu

Warga membawa beras dan bantuan presiden pada acara Penyaluran Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah di Gudang Bulog, Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 1 Februari 2024. Presiden memastikan pemerintah akan menyalurkan bantuan 10 kilogram beras yang akan dibagikan hingga bulan Juni kepada 22 juta masyarakat Penerima Bantuan Pangan (PBP) di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

Berita terkini: Seruan pemakzulan Presiden Jokowi karena dugaan penyelewengan Bansos, gaji Ketua KPU yang terbukti langgar etik meloloskan Gibran.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

52 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.