Rencana pemerintah DKI Jakarta merenegosiasi kontrak pengelolaan air bersih di Jakarta layak didukung. Sejak 20 tahun lalu, pengelolaan air di Jakarta ditangani swasta. Pemerintah Provinsi DKI harus memastikan pengambilalihan ini memberi manfaat bagi publik dibanding ketika dikelola swasta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan rencana tersebut. Selama ini pengelolaan air bersih berada di tangan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta melalui kontrak perjanjian kerja sama pada 6 Juni 1997, yang diperbarui pada 22 Oktober 2001 dan akan berakhir pada 2023 mendatang.
Dikelola swasta, pelayanan air minum centang-perenang. Pemerintah DKI mencatat layanan air bersih pada awal 1998 meliputi 44,5 persen penduduk, tapi hingga 2017 cakupannya baru 59,4 persen alias hanya tumbuh 14,9 persen dalam 20 tahun. Pembangunan jaringan pipa terseok-seok. Ini jauh dari target 82 persen pada 2023 seperti yang diinginkan oleh pemerintah DKI Jakarta.
Harga air bersih di Jakarta pun dinilai mahal. Berdasarkan laporan evaluasi Badan Pengawas PAM Jaya 2017, harga rata-rata air di Jakarta Rp 7.800 per meter kubik. Di Kota Surabaya, dengan cakupan pelanggan 87 persen, tarif air hanya Rp 2.800 per meter kubik.
Masalah lain, angka kebocoran air masih tinggi. Swasta mendapat target menekan tingkat kebocoran air dari 57 persen menjadi 35 persen. Namun, dalam laporan PAM Jaya, tingkat kebocoran masih sekitar 43,5 persen, hanya turun sekitar 15 persen. Akibatnya, DKI dan PAM Jaya harus menutupi selisih biaya yang dibayarkan ke swasta.
Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta pada 2012 menggugat ke pengadilan. Gugatan ini dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 24 Maret 2015, tapi dibatalkan pengadilan tinggi setahun kemudian. Penggugat mengajukan kasasi dan menang pada 10 Oktober 2017. Namun putusan peninjauan kembali pada 30 November 2018 menyebabkan penswastaan jalan terus.
Rencana pemerintah DKI Jakarta mengelola air bersih ini sejalan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi pada 2015. MK memerintahkan pengelolaan air oleh badan usaha milik negara atau daerah agar dapat mengutamakan kepentingan publik.
Bila melakukan renegosiasi, pemerintah memiliki tiga opsi. Ketiganya adalah membiarkan status quo sampai kontrak selesai pada 2023, membeli saham dua perusahaan itu, atau menghentikan kontrak dengan risiko membayar penalti lebih dari Rp 1 triliun. Kemampuan keuangan pemerintah daerah tentu perlu dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan.
Kesiapan PAM Jaya hendaknya juga dipikirkan. Kritik terhadap swasta selama ini adalah soal jangkauan penikmat air bersih yang jauh dari target, harga mahal, dan kebocoran yang masih tinggi. DKI perlu memastikan semua masalah bisa diselesaikan. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan lembaga pengelola yang profesional, dengan manajemen yang transparan dan akuntabel. Jika masalah itu tak ditangani, pengambilalihan hanya akan mengubah lembaga pengelola tapi tak memperbaiki kualitas pelayanan dan penyediaan air bersih bagi warga Ibu Kota.