Kemala Atmojo
Pendengar Musik
Dunia permusikan geger. Keresahan yang terjadi sejak akhir tahun lalu itu kini meluas gara-gara beredarnya draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan di tengah masyarakat. Draf buatan Komisi Pendidikan dan Kebudayaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diprotes, bahkan ditolak, oleh banyak pelaku musik yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan. Bahkan sebagian dari mereka membuat petisi yang dibagikan kepada khalayak ramai. Sebagian menyoal minimnya sosialisasi dan kurangnya keterlibatan para pelaku musik pada saat dengar pendapat. Sebagian lain menyoal beberapa pasal yang dianggap dapat memasung kreativitas para pemusik.
Koalisi menyoroti beberapa masalah dalam draf itu. Pertama, terdapat "pasal karet" yang melarang musikus menciptakan lagu yang, antara lain, menista, melecehkan, dan menodai nilai agama serta memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, atau antargolongan. Kedua, meminggirkan musik independen dan berpihak kepada industri besar karena distribusi musik hanya dapat dilakukan oleh label rekaman atau penyedia konten musik digital.
Ketiga, aturan mengenai uji kompetensi dan sertifikasi bagi musikus. Keempat, beberapa pasal memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur. Ada pula pasal yang mewajibkan pemasangan label berbahasa Indonesia pada kemasan produk musik.
Sejak era reformasi dan otonomi daerah, kita memang gemar membuat peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah. Sudah lebih dari 40 ribu peraturan perundang-undangan muncul di Indonesia saat ini. Kini muncul lagi RUU Permusikan. Bisa jadi nantinya muncul Undang-Undang Perpatungan, Undang-Undang Perlukisan, Undang-Undang Pertarian, Undang-Undang Perdramaan, Undang-Undang Persastraan, dan seterusnya.
Sebelum merevisi atau membuat suatu undang-undang, penting dijawab terlebih dulu dua pertanyaan yang saling berkaitan: apakah untuk mengurus suatu bidang tertentu seorang presiden harus meminta izin dari DPR? Jika jawabannya "tidak", undang-undang untuk hal tersebut sebenarnya tidak perlu. Kemudian, apakah jika tidak ada undang-undangnya, presiden tidak bisa mengeluarkan kebijakan lain untuk menanganinya? Jika jawabannya "bisa", lagi-lagi tidak perlu undang-undang karena masih ada instrumen lain yang bisa dipakai, seperti peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Sejauh tidak berkaitan langsung dengan hak-hak dasar masyarakat dan hak asasi manusia, presiden bisa menggunakan instrumen selain undang-undang.
Khusus mengenai RUU Permusikan, sebaiknya naskah akademiknya dipelajari terlebih dulu. Naskah akademik ini bisa dikaji argumentasinya sehingga diketahui apakah perlu dibuat undang-undang atau tidak. Tak ada naskah akademik, tak boleh ada undang-undang. Selanjutnya, dalam draf rancangan undang-undang yang sudah beredar, bisa dikaji apakah asas pembentukan peraturan perundang-undangan sudah terpenuhi, seperti kejelasan tujuan, kejelasan rumusan, keterbukaan, dan dapat dilaksanakan. Apakah materi muatannya sudah mencerminkan asas pengayoman, kebinekaan, keadilan, kemanusiaan, dan seterusnya?
Dalam sekilas pandang, tampaknya beberapa pasal dalam RUU Permusikan ini bisa menimbulkan masalah dalam aplikasinya. Misalnya, Pasal 42 mengatakan, "Pelaku usaha di bidang perhotelan, restoran, atau tempat hiburan lainnya wajib memainkan musik tradisional di tempat usahanya." Apa maksudnya? Hotel, restoran, dan tempat hiburan itu harus terus-menerus memutar lagu tradisional atau sesekali saja? Karena tidak ada penjelasan, bisa saja ditafsirkan bahwa tempat-tempat tersebut harus terus-menerus memutar lagu tradisional. Jika demikian maksudnya, hal itu tidak saja sulit dilaksanakan, tapi juga tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan demokrasi. Hanya seorang otoriter yang bisa membuat pasal seperti itu di zaman ini.
Secara keseluruhan draf RUU Permusikan ini memang masih lemah dan terlalu umum. Jadi, RUU tersebut sebetulnya cukup dimasukkan ke bagian tersendiri dalam Undang-Undang Hak Cipta. Padahal, sebenarnya, hak cipta dunia musik, khusus yang berkaitan dengan film, sudah cukup berkembang. Ada hak sinkronisasi, komposisi, performing rights, publication rights, dan masih banyak lagi. Hal-hal semacam itulah yang belum tertampung dalam Undang-Undang Hak Cipta.
Singkatnya, sebaiknya draf RUU Permusikan itu direvisi total atau digabungkan saja dalam usulan perubahan Undang-Undang Hak Cipta. Jika tetap dipaksakan, saya khawatir RUU Permusikan nantinya hanya sah karena resmi (validity), tapi tidak berdaya guna (efficacy) alias tidak efektif.