Anggara
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform
Dalam pandangan para ahli hukum pidana nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht adalah peninggalan kolonial yang tidak sesuai dengan corak dan cara hidup bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka. Pandangan ini merefleksikan warisan pandangan para ahli hukum pada masa Orde Lama, yang menginginkan nasionalisasi terhadap semua produk hukum peninggalan Hindia Belanda dan mendorong penggunaan pranata hukum adat sebagai sistem utama dalam upaya pembaruan dan pembentukan hukum nasional. Namun Mr Muh. Yamin, dalam buku Sapta Darma, menyebutkan Jaksa Agung telah menyatakan KUHP yang digunakan untuk mendakwa Yamin sudah bersifat nasional karena tidak lagi memiliki sifat kolonial.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada 1961 menerbitkan kertas kerja "Pokok-pokok dan Asas-asas Tertib Hukum Nasional", yang menyatakan semangat mewujudkan unifikasi dan kodifikasi hukum berdasarkan asas-asas hukum adat. Lembaga itu mengkritik upaya tambal sulam dari pembaruan hukum sebagai ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari sistem hukum Barat. Tak mengherankan, apabila pada saat Seminar Hukum Nasional I pada 1963, pembaruan hukum pidana nasional hanya membawa misi tunggal, yaitu membimbing masyarakat ke arah masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Manipol/USDEK, sehingga penyelesaian revolusi Indonesia dapat terjamin-dengan kata lain dekolonisasi hukum pidana.
Dalam Rancangan KUHP yang kini dibahas pemerintah, misi ini sudah berubah menjadi dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, adaptasi, dan harmonisasi hukum pidana. Munculnya lima misi pembaruan hukum pidana itu tentu tidak lepas dari pengaruh dan perkembangan politik hukum ketika hukum difungsikan sebagai sarana pembangunan ekonomi.
Sayangnya, rancangan itu punya masalah yang cukup rumit dan tidak dipikirkan dampaknya. Rancangan ini disusun pertama kali pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tentu membawa ruh politik hukum dari pemerintahan yang sentralistik dan tidak ramah terhadap hak asasi manusia. Misalnya, dalam pembahasan mengenai hukum yang hidup di masyarakat, tidak terpikirkan bahwa hal ini akan memicu munculnya 548 KUHP lokal (provinsi dan kota/kabupaten). Selain itu, meski berkali-kali Menteri Hukum menegaskan bahwa rancangan ini akan mengurai kesesakan penjara, kenyataannya tidak memuat lebih banyak alternatif pemidanaan non-penjara. Rancangan ini juga masih mengekang kebebasan berekspresi, sesuatu yang telah kita nikmati sejak 1998.
Meski upaya rekodifikasi KUHP patut diapresiasi, model ini punya tantangan khusus. Umumnya itu dilakukan dalam waktu yang lama. Perubahan secara mendasar juga sulit dilakukan tanpa mengganggu tatanan peraturan perundang-undangan terkait.
Dalam konteks politik, rekodifikasi juga akan membuat konsentrasi perhatian pemerintah, parlemen, dan masyarakat terpecah dengan munculnya berbagai isu, seperti tindak pidana santet, kumpul kebo, prostitusi, penghinaan presiden, dan korupsi. Bahkan, sejak pertama kali dibahas, upaya rekodifikasi sudah menemui kegagalan ketika-meski kejahatan terorisme sudah diatur dalam Rancangan KUHP-itu tidak menghalangi pemerintah dan DPR mengamendemen Undang-Undang Terorisme dengan menambahkan jenis kejahatan baru.
Upaya lain tentu ada, yaitu amendemen bertahap. Sejak kemerdekaan, tercatat sudah 16 kali KUHP diubah melalui amendemen. Tentu perlu syarat untuk melakukannya, seperti menetapkan satu terjemahan resmi KUHP. Hingga saat ini, KUHP yang beredar adalah terjemahan tidak resmi, dan jumlahnya diperkirakan mencapai enam terjemahan.
Pemerintah juga perlu menetapkan prioritas pembaruan hukum pidana sehingga pembahasan dapat berkembang lebih baik dan terfokus. Terakhir, pemerintah perlu merumuskan model perumusan ancaman pidana dengan lebih presisi dan melibatkan para ahli lintas disiplin.
Mempromosikan jargon politik dekolonisasi dengan menciptakan ilusi bahwa KUHP adalah buatan kolonial pada dasarnya merupakan upaya yang sia-sia. Dalam perkembangan hukum pidana di seluruh dunia, tak pernah ada pembentukan hukum pidana yang sifatnya "orisinal" hasil karya dari suatu masyarakat tertentu. KUHP Belanda, misalnya, masih mewarisi aturan-aturan dari KUHP Prancis. Rancangan KUHP yang digadang-gadang sebagai hasil karya agung bangsa Indonesia itu juga pada dasarnya sebagian besar memiliki kesamaan dengan KUHP saat ini. Yang perlu diingat, dalam proses dan upaya pembaruan hukum pidana nasional, jargon politik perlu dihindari dan berfokus pada kepentingan pembangunan hukum nasional yang lebih sistematis serta menginternalisasi prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan sipil.