Rencana Presiden Joko Widodo membebaskan terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir seharusnya tetap berpedoman pada aturan. Tak hanya mencederai rasa keadilan, keputusan melepaskan Ba’asyir dengan dalih alasan kemanusiaan bisa menjadi preseden buruk dan mengacaukan sistem hukum.
Mantan pemimpin Jamaah Islamiyah yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, itu akan bebas pada Kamis mendatang. Terpidana 15 tahun kasus terorisme sejak 2011 ini divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menilai dia terbukti melatih dan mendanai sejumlah aksi terorisme serta memberi pengaruh kepada aktor serangan bom di sejumlah tempat.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ada tiga pilihan untuk bisa membebaskan seorang narapidana dari penjara, yakni bebas murni, grasi, dan bebas bersyarat. Dihitung dari lama hukumannya, masa bebas murni Ba’asyir baru akan tuntas pada 2023. Grasi juga tidak mungkin diberikan oleh Presiden, karena Ba’asyir tidak pernah mengajukan permohonan.
Opsi yang paling mungkin adalah pembebasan bersyarat. Sesuai dengan aturan, Ba’asyir sudah memenuhi syarat mendapat fasilitas ini karena telah menjalani dua pertiga masa hukuman pada 13 Desember lalu. Namun, untuk terpidana terorisme, ada sejumlah syarat khusus untuk mendapatkan bebas bersyarat. Salah satunya adalah pernyataan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kenyataannya, Ba’asyir menolak syarat khusus ini. Dengan demikian, seharusnya pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Jawa Tengah, ini tak bisa mendapat pembebasan bersyarat. Amat disayangkan jika Presiden mengesampingkan hal pokok ini dan tetap membebaskan Ba’asyir dengan pertimbangan alasan kemanusiaan.
Tindakan mengabaikan syarat khusus ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 yang mengatur soal ini. Kendati kedudukannya di atas menteri, presiden tetap tidak bisa mengangkangi peraturan tersebut. Memperoleh fasilitas bebas bersyarat tentu saja hak setiap narapidana, termasuk Ba’asyir. Namun mekanismenya harus tetap berpedoman pada aturan hukum.
Presiden akan dituding melakukan intervensi terhadap supremasi hukum jika tetap memaksakan pembebasan bersyarat Ba’asyir. Upaya hukum ini bisa dijalankan hanya jika Ba’asyir mengubah sikapnya dan meneken ikrar setia kepada NKRI. Jika ia berkukuh, Presiden tak bisa menggunakan alasan apa pun untuk mengambil alih keputusan bebas bersyarat Ba’asyir.
Dengan sejumlah keganjilan itu, pemaksaan pembebasan Ba’asyir sulit berkelit dari tudingan sebagai politik elektoral Jokowi, sekaligus upaya pemerintah untuk lepas dari tuduhan melakukan kriminalisasi terhadap ulama.
Sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh Presiden untuk membebaskan Ba’asyir tanpa harus menabrak aturan. Presiden bisa memberikan amnesti, karena ini wilayah prerogatifnya. Berbeda dengan grasi, amnesti merupakan pengampunan hukuman dari kepala negara untuk terpidana, tanpa harus mengajukan permohonan. Presiden semestinya mengambil langkah ini, karena pembebasan Ba’asyir terkesan lebih merupakan keputusan politik.