Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Cita Rasa Orde Baru dalam Pemilu

image-profil

image-gnews
Ketua Umum Partai Berkarya Tommy Soeharto berfoto bersama dengan Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo, Siti Hediati Hariyadi, dan Siti Hutami Endang Adiningsih saat menghadiri acara kongres Partai Berkarya di Bogor, Jawa Barat, 23 Juli 2018. REUTERS/Beawiharta
Ketua Umum Partai Berkarya Tommy Soeharto berfoto bersama dengan Jenderal (Purnawirawan) Gatot Nurmantyo, Siti Hediati Hariyadi, dan Siti Hutami Endang Adiningsih saat menghadiri acara kongres Partai Berkarya di Bogor, Jawa Barat, 23 Juli 2018. REUTERS/Beawiharta
Iklan

Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

Pemilihan umum tahun ini diwarnai dengan cita rasa Orde Baru. Pertama, ada Tommy Soeharto dan Titiek Soeharto, anak penguasa Orde Baru, Jenderal Soeharto, yang memakai kendaraan politik Partai Berkarya. Kedua, ada eksperimen "dagang politik" yang membesar-besarkan Orde Baru, semacam glorifikasi, untuk mendulang suara.

Soeharto memang penguasa yang ditakuti dan memiliki kekuasaan yang begitu kuat. Namun gelombang unjuk rasa yang menegangkan di Jakarta dan berbagai kota besar menuntutnya mundur pada 1998. Akhirnya, kekuasaan itu punah juga.

Meski sudah lebih dari 20 tahun kekuasaan Soeharto yang besar itu berlalu, kini terkesan bangkit kembali melalui kampanye yang membesar-besarkan namanya. Siapa lagi kalau bukan pimpinan Partai Berkarya yang mencoba mengangkat kebesaran Soeharto sebagai "jualan" kampanye mereka? Glorifikasi ini diikuti pula oleh calon presiden dan calon wakil presiden yang mereka dukung.

Dengan glorifikasi itu, generasi masa kini dan generasi sebelumnya, terutama yang menikmati kemewahan dan kenyamanan di bawah Orde Baru, hendak dipengaruhi. Glorifikasi tersebut di antaranya dengan istilah "penyelamat dan pahlawan bangsa", "swasembada beras", juga julukan "bapak pembangunan" bagi Soeharto.

Masalahnya, mengangkat kebesaran Soeharto memerlukan biaya kampanye yang tidak kecil. Mungkin, bagi keluarga Soeharto, membiayai kampanye bisa dipandang enteng. Sudah banyak sebaran informasi yang diketahui publik mengenai kekayaan keluarganya yang minimal US$ 15 miliar atau sekitar Rp 217 triliun.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia telah mengeluarkan buku panduan Prakarsa Penemuan Kembali Kekayaan yang Dicuri, yang juga mengungkap kekayaan keluarga Soeharto sekitar US$ 15-35 miliar. Bahkan hasil investigasi sebuah media mengungkapkan angka yang fantastis, yaitu berkisar US$ 15-73 miliar (Time, 24 Mei 1999).

Dengan kekayaan yang begitu melimpah, rasanya tak bakal sulit mengangkat kebesaran Soeharto ke panggung politik elektoral. Ini termasuk untuk menenggelamkan status hukumnya sebagai terdakwa korupsi dalam kasus pengumpulan dana lewat yayasan-yayasannya yang tak pernah dicabut oleh pengadilan, meskipun ia sudah wafat pada 27 Januari 2008.

Kepunahan Orde Baru bisa saja dibangkitkan kembali lewat kebesaran Soeharto dengan segala pernak-perniknya. Namun kampanye dan pementasan segala kebesarannya untuk sampai berpengaruh luas kepada generasi masa kini bakal menguras kekayaan keluarganya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah keluarga Soeharto mau mengeluarkan biaya besar tanpa menghitung risiko gagal? Berapa puluh juta suara yang diperlukan dan berapa triliun rupiah yang harus dikeluarkan untuk menuai pengaruh luas?

Rasanya, mereka tak bakal berani menanggung risiko gagal dengan biaya yang begitu besar. Hal itu sama saja dengan kemungkinan "bunuh diri" atau game over. Apalagi mereka diwajibkan menyampaikan laporan keuangan atas kegiatan kampanye dan sumber dana kampanye tersebut.

Dari pengamatan sepintas, Partai Berkarya tidak kelihatan jorjoran dibangun meskipun lolos sebagai peserta pemilu. Partai ini memang mendukung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo-Sandiaga, tapi elektabilitas pasangan itu belum mengungguli pasangan calon petahana.

Penggenjotan elektabilitas Prabowo-Sandiaga sebenarnya telah diuji coba pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017 melalui koalisi Gerindra dan PKS. Mereka memetik kemenangan telak lewat Anies Baswedan di putaran terakhir. Salah satu faktor kuat kemenangan itu adalah politik populis dengan sentimen agama dan ras.

Meskipun uji coba berikutnya dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat pada 27 Juni 2018 gagal, pasangan calon yang diusung koalisi Gerindra dan PKS dapat merebut posisi kedua dengan selisih 4,24 persen dari pemenang Pilkada: Ridwan Kamil. Lagi-lagi sentimen agama yang dinyalakan tetap bisa diandalkan untuk mendulang suara.

Dengan melihat perkembangan elektabilitas dan beberapa uji coba itu, dalam pertarungan elektoral skala besar, akan berisiko jika keluarga Soeharto harus jorjoran membiayai kampanye. Masih banyak daerah yang kurang cocok ketika suatu koalisi partai mengerek sentimen agama yang digabungkan dengan cita rasa Orde Baru.

Kesimpulannya, keluarga Soeharto tidak bakal nekat menguras kekayaannya demi membiayai kampanye. Membentuk Partai Berkarya saja sudah cukup banyak mengeluarkan biaya. Lagi pula, Tommy Soeharto bukanlah calon presiden, sehingga tidak ada jaminan bagi masa depan pemupukan kekayaan keluarganya, siapa pun presidennya kelak.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

3 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

7 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

22 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

23 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

43 hari lalu

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

46 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

46 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

52 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

53 hari lalu

Warga membawa beras dan bantuan presiden pada acara Penyaluran Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah di Gudang Bulog, Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 1 Februari 2024. Presiden memastikan pemerintah akan menyalurkan bantuan 10 kilogram beras yang akan dibagikan hingga bulan Juni kepada 22 juta masyarakat Penerima Bantuan Pangan (PBP) di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

Berita terkini: Seruan pemakzulan Presiden Jokowi karena dugaan penyelewengan Bansos, gaji Ketua KPU yang terbukti langgar etik meloloskan Gibran.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.