Putusan Mahkamah Agung yang memperberat hukuman Heri Budiawan alias Budi Pego menjadi 4 tahun penjara amat disesalkan. Aktivis lingkungan hidup ini dijerat dengan tuduhan yang tampak mengada-ada: menyebarkan ajaran komunisme, Marxisme, atau Leninisme. Hukum terkesan disalahgunakan untuk membungkam ekspresi dan aspirasi masyarakat.
Aktivitas Budi yang melatarbelakangi tuduhan itu jauh sekali dari upaya menyebarkan paham terlarang. Ia hanya terlibat demonstrasi mempersoalkan izin tambang PT Bumi Sukses Indo di Gunungsalak, Banyuwangi, awal April tahun lalu. Saat itulah aparat keamanan mengklaim menemukan spanduk bergambar palu-arit yang kemudian dijadikan bukti untuk menjebloskan Budi ke penjara.
Budi semula divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi pada awal tahun ini. Ia dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap keamanan negara sesuai dengan Pasal 107a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan yang kemudian dikuatkan oleh pengadilan banding ini amat lemah karena dalam persidangan tidak ada bukti spanduk palu-arit-lambang yang dahulu dipakai oleh Partai Komunis Indonesia. Empat spanduk putih yang dijadikan bukti hanya berisi tulisan berkaitan dengan protes izin tambang.
Anehnya, majelis kasasi justru memperberat hukuman terdakwa pada pertengahan bulan lalu. Budi, yang kini harus menghadapi proses eksekusi putusan kasasi, bahkan tidak mendapat pemotongan masa tahanan. Hakim kasasi seharusnya lebih jeli memeriksa substansi perkara. Harus dicermati, misalnya, apakah terdakwa benar-benar memiliki kapasitas untuk menyebarkan paham terlarang.
Untuk menjerat terdakwa, harus dibuktikan pula adanya unsur kesengajaan "menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme". Dalam persidangan kasus Budi, jelas tidak terungkap adanya niat (mens rea) terdakwa melakukan kejahatan yang dituduhkan. Pengabaian unsur ini semakin menimbulkan kesan bahwa peradilan telah sewenang-wenang menerapkan delik keamanan negara yang disisipkan ke KUHP lewat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 itu.
Kasus Budi kian memperlihatkan tren buruk dunia peradilan kita: menggunakan instrumen pidana untuk memenjarakan aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Cara seperti ini amat berbahaya karena mencederai kebebasan berpendapat. Protes terhadap izin tambang di Banyuwangi pun terbungkam. Padahal proses penambangan ini berpotensi merusak lingkungan hidup dan mengabaikan hak-hak masyarakat setempat.
Mahkamah Agung masih memiliki kesempatan untuk mengoreksi putusan yang serampangan itu lewat peninjauan kembali yang akan diajukan Budi. Sebagai benteng terakhir keadilan, Mahkamah harus memastikan peradilan kita hanya menghukum seseorang yang benar-benar terbukti bersalah melakukan suatu kejahatan.