Hari Belanja Online Nasional alias Harbolnas mencapai puncaknya kemarin dengan target nilai transaksi sebesar Rp 7 triliun. Ini tanda yang makin kuat bahwa perdagangan online (daring) akan menjadi sektor penting dalam perekonomian nasional. Namun, di sisi lain, mesti dicermati bahwa perlindungan terhadap konsumen masih lemah karena tak ada aturan yang memayungi. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) atau e-commerce, yang saat ini masih tersimpan di laci Sekretariat Negara, perlu segera dirilis Presiden.
Harbolnas pada 12 Desember kemarin menunjukkan kemajuan bisnis online tak terbendung lagi. Perhelatan itu diikuti 300 entitas. Angka ini naik pesat dibanding pada 2017 yang berada di angka 240. Sepanjang enam tahun pelaksanaannya, nilai transaksi pada Harbolnas tumbuh dua digit saban tahun, dari Rp 67,5 miliar (2012) menjadi Rp 4,7 triliun pada 2017.
Saat ini, sumbangan transaksi e-commerce terhadap PDB memang masih kecil, yakni baru sekitar 0,75 persen. Tahun ini nilai transaksinya ditaksir sekitar Rp 102 triliun. Tapi pertumbuhannya cukup bagus. Dalam 10 tahun terakhir, nilainya diperkirakan mencapai sekitar 17 persen.
Sayang sekali, melejitnya volume perdagangan daring ini juga diikuti tingginya kejahatan dengan modus penipuan online. Pada 2016, misalnya, ratusan orang menjadi korban penipuan perdagangan lewat website, dengan nilai kerugian Rp 10 miliar. Polda Metro Jaya berhasil membongkar aksi ini setelah menerima sekitar 100 aduan. Ini sangat ironis karena, di tengah maraknya ekonomi digital, aspek perlindungan konsumen masih lemah.
Berdasarkan penelitian Kaspersky Lab dan B2B International, sebanyak 26 persen konsumen Indonesia kehilangan uang karena menjadi sasaran tindak penipuan lewat transaksi elektronik. Angka ini mengkhawatirkan, karena Indonesia menjadi negara dengan korban penipuan daring tertinggi. Di bawah Indonesia ada Vietnam (26 persen) dan India (24 persen).
Aturan mengenai transaksi elektronik dengan demikian mendesak untuk segera diterbitkan. Sebab, undang-undang mengenai perlindungan konsumen tak dapat mengakomodasi hal ini. Sebabnya, e-commerce mempunyai karakteristik berbeda dibanding transaksi konvensional. Misalnya, tidak bertemunya penjual dengan pembeli.
Aturan ini tidak hanya mengatur perlindungan bagi konsumen, tapi secara lebih luas juga bisa berfungsi sebagai peta jalan pengembangan e-commerce di Tanah Air. Bidang ini relatif masih baru, tapi antusiasme pemain anyar sangat tinggi. Tanpa aturan dan pengawasan yang baik, hanya pemain dengan modal kuat yang bisa bertahan.
Banyak pekerjaan rumah yang mesti segera dituntaskan pemerintah ihwal perdagangan daring ini. Regulasi yang mengatur ekosistem e-commerce tak bisa menunggu lebih lama lagi, mengingat pertumbuhannya yang sangat pesat. Kita tak ingin kedodoran mengarungi lautan ekonomi digital yang sangat dinamis ini.