Hakim Mahkamah Agung semestinya lebih teliti dalam menangani perkara yang berkaitan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sudah banyak korban berjatuhan garagara pasal karet dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 yang kemudian direvisi menjadi UndangUndang Nomor 19 Tahun 2016 itu.
Yang terbaru, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara kepada ibu guru Baiq Nuril Maknun, yang sejatinya korban pelecehan seksual. Nuril dijerat dengan Pasal 27 ayat 1 UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik karena dianggap menyebarkan konten bermuatan asusila.
Konten itu berasal dari rekaman percakapan telepon antara Nuril dan M, kepala sekolah tempatnya mengajar. Nuril sengaja merekam percakapan tersebut karena M kerap melecehkannya secara verbal. Rekaman itu kemudian menjadi salah satu barang bukti yang membuat kepala sekolah tersebut dimutasi.
Setidaknya ada dua hal yang diabaikan majelis hakim kasasi perkara Nuril. Pertama, mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam pedoman itu tercantum bahwa hakim mesti mempertimbangkan kesetaraan status sosial perempuan di antara para pihak yang beperkara, dampak psikis, sampai relasi kuasa para pihak.
Jelas, status sosial dan relasi kuasa antara Nuril sebagai guru honorer dan pelapornya yang kepala sekolah adalah berbeda. Belum lagi tekanan psikis karena menjadi korban kekerasan seksual. Artinya, dalam menangani perkara Nuril, majelis hakim tak bisa menggunakan kacamata kuda dan mengabaikan peristiwa pelecehan seksual yang melatarbelakanginya.
Pengabaian kedua ada pada bagian penjelasan Pasal 27 ayat 1 UndangUndang ITE. Penjelasan pasal tersebut seperti tercantum dalam revisinya merinci pengertian "mendistribusikan", "mentransmisikan", dan "membuat dapat diakses". Dalam perkara ini, adalah teman Nuril yang menyebarkan rekaman tersebut ke Dinas Pendidikan Kota Mataram sehingga akhirnya sanksi dijatuhkan untuk M.
Masih ada kesempatan bagi majelis hakim Mahkamah Agung untuk memperbaiki putusannya. Terlebih UndangUndang ITE ini sudah memakan lebih dari 200 korban karena pasalpasal karet yang termaktub di dalamnya. Contohnya adalah Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit pada 2008, komedian Muhadkly atau Acho yang "curhat" tentang pengelolaan apartemen, sejumlah perusahaan pers yang pemberitaannya dianggap melenceng meski ada UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur penyelesaian sengketa pers, hingga perkara ibu guru Nuril.
Beberapa pasal yang sering disalahgunakan dalam UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah Pasal 27 tentang penyebaran informasi dan pencemaran nama, serta Pasal 26 dan 28 yang mengancam kebebasan pers. Seharusnya pasal karet dalam undangundang ini segera direvisi.