Putu Setia
HIJRAH itu ternyata punya makna yang sangat dalam. Selama ini saya kurang perhatian terhadap arti yang begitu luas, mendalam, dan sangat mulia. Saya hanya tahu bahwa hijrah itu sebuah peristiwa yang bersejarah ketika Nabi Muhammad bersama pengikutnya meninggalkan Mekah untuk pergi ke Madinah pada 24 September 622 Masehi atau 13 Rabi‘ul Awwal.
Jadi, hijrah bukan sekadar orang pindahan dari satu kota ke kota lain. Hijrah adalah proses memperbaiki diri, memperbaiki cara berpikir, dan memperbaiki cara berucap serta bersikap. Hijrah adalah berpindah menuju kehidupan lebih baik, lebih bermakna, dan lebih indah.
Karena itu, saya harus mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang mengajak kita bersama untuk siap melakukan hijrah. Meski hijrah melekat pada idiom agama Islam karena sejarah munculnya istilah itu, saya percaya bahwa perilaku "berpindah menuju kehidupan yang lebih baik" adalah cita-cita seluruh umat manusia, apa pun agamanya. Apa ada manusia di dunia ini yang menginginkan kehidupan menjadi lebih buruk? Setiap saat kita wajib hijrah, kalaupun kita sudah merasa berbuat baik tentu tak ada salahnya untuk memperbaiki lagi agar semakin baik.
Para politikus sontoloyo-seperti halnya hijrah, sontoloyo ini juga diucapkan Jokowi-seharusnya menyambut baik ajakan Jokowi untuk berhijrah. Jangan permainkan nasib anak bangsa ini dengan debat yang tidak penting meskipun kita berada di tahun politik. Lihatlah para kusir delman, andong, dokar, cidomo sudah banyak hijrah menjadi "kusir" ojek online, kenapa kita wariskan debat kusir mereka di tahun politik ini?
Kenapa politik kita tidak ikut hijrah ke politik yang lebih beradab, politik yang melahirkan gagasan dan ide besar untuk membangun bangsa ini bersama-sama? Para elite yang kini bersemangat untuk menjagokan pasangan capres dan cawapres yang didukungnya lebih suka mencari kejelekan lawannya ketimbang memperkenalkan gagasannya membangun bangsa. Udara politik kita keruh dengan hal-hal yang remeh-temeh. Cebong, kampret, stuntman, tempe setebal kartu kredit, tampang Boyolali, dungu, asu, dan banyak lagi hal tak penting, terus digoreng seraya kita abaikan sisi guyonannya. Sampai kapan kita berhenti debat yang porsinya milik para kusir andong? Bisakah kita hijrah dari berbagai jenis umpatan, termasuk umpatan sontoloyo itu?
Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ) Jakarta, Dr Nur Rofiah, menjelaskan, hijrah adalah perilaku sepanjang hayat. Beliau memberi contoh, kalau menjadi pedagang, awalnya curang karena konsumen tidak tahu, maka pedagang bisa hijrah memperbaiki cara dagangnya untuk tidak membahayakan konsumen. Kalau contoh ini dibawa ke tahun politik, politikus yang suka berbohong bisa hijrah dengan cara mengurangi kebohongannya sehingga rakyat tidak tertipu.
Persoalannya adalah siapa yang berbohong dan siapa yang menuduh seseorang berbohong tergantung koki yang tugasnya menggoreng isu itu di media massa. Artinya, sang koki dan sang pemilik media massa juga harus hijrah. Hentikan pemberitaan yang sepihak, lebih-lebih mengaku sebagai media yang netral.
Situasi buruk saling maki ini harus diakhiri. Hijrah harus dilakukan oleh semua pihak. Jika dulu Nabi Muhammad mengajak umat untuk hijrah, adakah "nabi" masa kini yang bisa memimpin hijrah itu? Dalam posisinya saat ini, Jokowi, Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno harusnya bisa diharap jadi "nabi kecil" yang mengajak pengikutnya untuk hijrah. Tentu dengan catatan para beliau itu yang harus hijrah lebih dulu.