Bagong Suyanto
Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Menjelang akhir tahun, salah satu isu di bidang ketenagakerjaan yang selalu muncul adalah soal penetapan upah minimum provinsi (UMP). Keputusan pemerintah tentang besaran UMP hampir setiap tahun selalu memantik sikap tidak puas dari buruh dan pengusaha karena dinilai tidak sesuai dengan harapan. UMP adalah upah minimum tenaga kerja per bulan yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di satu provinsi.
Surat edaran Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Hanif Dhakiri tentang UMP tahun 2019 yang naik hanya 8,03 persen langsung disambut dengan protes, terutama dari pihak buruh. Kenaikan UMP yang tidak lebih dari 10 persen itu dinilai tidak sebanding dengan kenaikan berbagai harga barang kebutuhan sehari-hari, seperti beras, telur, ayam, dan listrik. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan, kenaikan UMP yang realistis adalah sekitar 20–25 persen. Kenaikan sebesar itu didasarkan pada hasil survei kebutuhan hidup laik yang dilakukan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan KSPI di beberapa daerah.
Adapun para pengusaha keberatan akan dampak kenaikan itu terhadap biaya produksi dan peluang mereka bersaing di tengah kondisi perekonomian yang masih belum stabil. Di mata pengusaha, kenaikan UMP itu dinilai membebani para pelaku industri di tengah terdepresiasinya nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diklaim akan berpengaruh terhadap biaya operasional pelaku industri yang masih bergantung pada bahan baku impor.
Bagi mereka, persoalannya bukan pada berapa besaran UMP, melainkan dampaknya terhadap kelangsungan usaha. Dunia usaha yang mati suri dan bahkan sebagian dilaporkan telah mengalami kebangkrutan sering kali dikemukakan pengusaha sebagai bukti kesulitan yang mereka hadapi.
Pemerintah perlu bersikap arif dan bijak dalam menghadapi perbedaan sikap dua kubu yang selalu muncul setiap tahun ini. Penetapan UMP bukan sekadar soal formula dan faktor-faktor yang dipertimbangkan. Idealnya, tentu indikator penetapan UMP adalah kebutuhan hidup, inflasi, dan kondisi perekonomian makro. Tapi masalahnya terletak pada keterbukaan pengusaha terhadap kondisi usaha mereka.
Selama ini, buruh selalu curiga terhadap sikap pengusaha, yang bila untung besar diam saja dan tidak memberikan penghargaan kepada buruh. Tapi, ketika buruh menuntut kenaikan UMP, para pengusaha biasanya akan mengeluh dan meminta buruh memahami situasi perekonomian yang tengah lesu. Sikap saling curiga dan tidak adanya komunikasi yang benar-benar saling memahami inilah yang sebetulnya menjadi titik krusial perbedaan sikap antara kaum buruh dan pengusaha.
Kaum buruh tentu sulit menerima jika pengusaha terus mengeluh rugi dan gamang menghadapi perubahan kondisi perekonomian yang makin kompetitif. namun di saat yang sama secara kasatmata buruh melihat pabrik tempat mereka bekerja terus berekspansi ke berbagai wilayah, dan terus menambah volume produksi. Tidaklah mungkin buruh mau menerima kenaikan UMP yang hanya 8,03 persen jika pabrik tempat mereka bekerja justru terus membesar.
Kata kunci untuk mencegah perselisihan antara buruh dan pengusaha ini adalah keterbukaan dan bagaimana menumbuhkan rasa memiliki buruh. Sebuah perusahaan yang memperlakukan buruhnya secara manusiawi serta berhasil membangun empati dan rasa memiliki dari kaum buruhnya berkemungkinan besar dapat meredam potensi konflik.
Sepanjang kalangan pengusaha masih memandang upah buruh merupakan bagian dari biaya produksi dan karena itu menjadi beban bagi perusahaan, sepanjang itu pula resistansi buruh akan terus bermunculan. Alih-alih mau menerima keputusan pemerintah soal besaran UMP, bukan tidak mungkin yang terjadi adalah rasa curiga dan sikap kritis buruh untuk terus memperjuangkan apa yang mereka pandang pantas diperjuangkan.