Kekhawatiran terhadap sejumlah media televisi yang diperkirakan akan sulit bersikap netral dalam pemilihan presiden 2019 bukan tanpa alasan. Praktik lancung ini telah terjadi pada masa pemilihan presiden sebelumnya. Sayang, hukuman bagi mereka, seperti pencabutan izin siaran, tidak dilakukan.
Dalam pemilihan presiden nanti, semakin banyak televisi berpotensi memihak salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Banyak pengusaha media kini tercatat sebagai pendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Salah satunya adalah Erik Thohir, pemilik Jak TV, Gen FM, dan Jak FM di bawah bendera Mahaka Group, yang pekan lalu resmi menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf.
Sebelum Erik bergabung, sudah ada Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Perindo, yang juga menguasai jaringan MNC Media, di antaranya RCTI, Global TV, dan INews TV. Ada pula Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, yang mengendalikan Metro TV. Dalam pemilu legislatif 2014, sejumlah televisi swasta itu kelihatan betul mengikuti arah politik pemiliknya. Teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyangkut pelanggaran siaran dan Dewan Pers dalam soal jurnalistik dianggap angin lalu.
Pemilik televisi semestinya menjunjung tinggi asas netralitas dalam Undang-Undang Penyiaran. Isi siaran tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Pemegang izin siaran juga harus tunduk kepada Pedoman Perilaku Penyiaran yang ditetapkan KPI. Sesuai dengan pedoman ini, lembaga penyiaran, termasuk televisi, tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta pemilu. Lembaga penyiaran juga tidak boleh menyiarkan program siaran yang dibiayai peserta pemilu.
Dalam pemilu yang lalu, prinsip netralitas itu diabaikan. Ada televisi yang amat kentara menyokong salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden, bahkan larut dalam kampanye hitam menyerang pasangan lawan. KPI saat itu menilai lima media televisi tidak netral dalam menyiarkan pemilu. Lima televisi memberikan porsi pemberitaan lebih bagi pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Adapun satu televisi menyiarkan secara berlebihan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Peta keberpihakan televisi akan berubah pada pemilu presiden mendatang, tapi hakikatnya sama: netralitas dalam penyiaran harus ditegakkan. Pemilik dan pelaku penyiaran semestinya menyadari bahwa frekuensi yang mereka gunakan adalah milik khalayak luas. Mereka tak boleh bersikap partisan dalam memberitakan kegiatan partai politik dan pasangan calon presiden-wakil presiden.
Bila pelanggaran seperti pada pemilu lalu kembali terjadi, Komisi Penyiaran tak perlu ragu merekomendasikan agar izin siaran mereka dicabut. Kementerian Komunikasi dan Informatika pun harus berani membela kepentingan publik dengan mengambil kembali frekuensi dari pemilik televisi yang nakal. Frekuensi itu bisa dilelang lagi dengan seleksi lebih ketat.