Pembengkakan dana subsidi energi yang terjadi pada 2018 sangat mengkhawatirkan. Selain nilainya sangat fantastis, lonjakan jumlah subsidi ini tak sejalan dengan janji kampanye Presiden Joko Widodo yang ingin mengurangi subsidi bahan bakar minyak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam rapat dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 Juli lalu, mengatakan angkanya mencapai Rp 163,5 triliun. Jumlah ini meleset 73 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 yang hanya Rp 94,5 triliun.
Kenaikan harga minyak dunia memang menjadi penyebab utama pembengkakan tersebut. Saat ini harga minyak Brent berada pada level US$ 72 per barel, jauh di atas asumsi US$ 48 per barel. Namun faktor eksternal yang lazim ini sering bisa diantisipasi dengan revisi asumsi harga minyak dalam APBN Perubahan yang diajukan pada pertengahan tahun anggaran. Ia menjadi masalah besar karena tahun ini pemerintah memutuskan tidak mengajukan anggaran perubahan.
Lebih dari itu, lonjakan angka subsidi menunjukkan inkonsistensi kebijakan anggaran pemerintah Jokowi. Sementara pada tiga tahun pertama konsisten memangkas anggaran subsidi BBM dan listrik, memasuki tahun politik ini pemerintah justru memilih kebijakan sebaliknya.
Untuk solar, misalnya, pemerintah dan DPR sudah menyepakati tambahan subsidi dalam RAPBN 2019 dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Pemerintah juga sudah memastikan tak akan menaikkan harga solar, Premium, dan tarif dasar listrik hingga akhir 2019. Alasannya, untuk menjaga daya beli masyarakat yang belum pulih.
Akibatnya, wajar bila berkembang opini bahwa kembalinya rezim subsidi lebih dilandasi alasan politis ketimbang ekonomi. Tahun depan akan berlangsung pemilu legislatif yang digelar bersamaan dengan pemilihan presiden. Mereka yang akan ikut bertanding perlu menjaga citra dengan menghindari kebijakan yang tidak populis. Menaikkan harga BBM ataupun listrik pada saat seperti ini biasanya dianggap akan menggerus elektabilitas.
Bagi masyarakat, kebijakan seperti ini juga akan terasa menyenangkan. Namun, menilik sejarah perekonomian republik ini, kebijakan subsidi terbukti menjadi bom waktu yang akan membebani anggaran. Apalagi selama ini sudah terbukti, kebijakan subsidi yang dijalankan pemerintah tidak efektif karena lebih banyak salah sasaran. Subsidi energi, misalnya, lebih banyak dinikmati orang kaya ketimbang masyarakat miskin.
Ketika asumsi meleset dan pemerintah memutuskan tidak akan mengajukan anggaran perubahan, satusatunya cara yang bisa dilakukan adalah gesermenggeser pos anggaran. Pemerintah belum menjelaskan secara rinci penggeseran yang akan dilakukan, tapi mudahmudahan saja yang menjadi korban bukanlah pos belanja yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.