Putu Setia
@mpujayaprema
Sim salabim. Ini bukan cerita tentang dunia sulap. Ini betul-betul cerita soal SIM alias surat izin mengemudi. Mumpung banyak kisah yang sempat terekam pada ritual mudik lalu. Tentang mobil yang seenaknya menyerobot jalan. Tentang sepeda motor yang tak mau berada di jalur kiri sesuai dengan aturan berlalu lintas, bahkan menyalip mobil dari kanan. Bukankah ini menandakan mereka tidak pantas memiliki SIM?
Di desa, anak-anak yang belum cukup umur sudah membawa sepeda motor di jalanan. Padahal persyaratan untuk mendapat SIM ada di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Pasal 77 ayat 1 undang-undang itu menyebutkan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikan. Syarat utama adalah memiliki kartu tanda penduduk. Untuk mendapatkan KTP itu, seseorang harus berusia 17 tahun. Siswa di sekolah menengah pertama tentu belum punya KTP.
Persyaratan mendapatkan SIM cukup ketat, meski selalu bisa dibuat gampang. Dulu, ketika pungutan liar masih jadi "budaya polisi", membuat SIM tinggal menghubungi calo yang juga oknum polisi, lalu serahkan pasfoto. Memang belakangan harus datang sendiri ke kantor polisi karena pengambilan foto di tempat dan sidik jari yang harus diterakan dalam dokumen. Selebihnya juga gampang, walau ada persyaratan bermacam-macam. Misalnya ada surat keterangan dokter, lulus ujian teori dan praktik, atau mengikuti kursus mengemudi yang dibuktikan dengan sertifikat. Kini, ada persyaratan baru lagi. Lulus tes psikologi.
Apakah itu akan menyulitkan pencari SIM? Tergantung apakah syarat-syarat itu memang dilaksanakan dengan benar oleh polisi. Saya punya kisah ketika telat memperpanjang SIM beberapa tahun lalu. Karena terlambat memperpanjang dianggap mencari SIM baru. Maka semua persyaratan harus saya penuhi. Tak sulit-sulit amat. Mencari surat keterangan dokter tinggal masuk ke ruangan yang sudah ditentukan. Ada petugas di sana yang saya yakin bukan dokter. Identitas saya tinggal ditulis dalam formulir, sembari ditanya golongan darah apa, serta tinggi dan berat badan berapa. Selesai tanpa ada pemeriksaan kesehatan. Formulir itu bahkan sudah ditandatangani oleh bukan petugas tadi.
Ketika persyaratan saya kira sudah cukup, saya serahkan ke polisi yang bertugas di bagian pendaftaran. Tinggal ujian teori dan praktik, pikir saya. Ternyata ada yang kurang, saya harus menyerahkan surat keterangan pernah ikut kursus mengemudi. Sempat saya tanya, bukankah nanti saya akan mengikuti ujian teori dan praktik? Polisi menjawab, "Ya logikanya kalau tak pernah kursus mengemudi, pasti berat ujiannya." Dalam hati saya kesal, sudah sepuluh tahun lebih punya SIM, kok harus kursus lagi.
Syukurlah polisi yang baik itu melihat kebingungan saya. "Bapak tak usah repot mengurus itu. Datang ke ruangan di sana," kata polisi sambil menunjuk ke arah sebuah ruangan. Ketika saya masuk ke dalamnya tanpa ngomong apa-apa petugas sudah tahu. "Mau ambil sertifikat mengemudi? Rp 75 ribu," katanya. Dengan hanya menuliskan identitas di sertifikat itu, saya sudah dinyatakan pernah ikut kursus mengemudi dan lulus. Nama dan alamat kursus pengemudi tertera dengan jelas. Ajaib. Belakangan saya tahu, hal itu terjadi hampir di semua kota bahkan dengan tarif yang lebih mahal.
Apakah nanti tes psikologi akan seperti itu? Ini kerja sama bagus antara polisi dan biro konsultasi psikologi. Minat masuk fakultas psikologi bisa bertambah. Dan kalau itu terjadi jangan bayangkan lalu lintas di jalanan lebih tertib dari yang ada saat ini. l