Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Predikat Garuda Indonesia (GA) sebagai maskapai penerbangan berkelas tampaknya mulai turun. Sebagai maskapai yang menyandang status layanan penuh bintang lima, GA justru mengalami pengurangan di berbagai lini pelayanan. Saban hari, apalagi pada saat akhir pekan, umpatan demi umpatan konsumen mengarah ke maskapai itu-suatu hal yang selama ini pemali bagi GA.
Klimaks dari itu, Serikat Pekerja GA dan bahkan Asosiasi Pilot Garuda (APG) mengancam mogok kerja pada akhir Mei mendatang. Dalam konteks perlindungan konsumen, mogok kerja karyawan, apalagi pilot sebagai profesi, merupakan tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Mogok kerja kontraproduktif dengan pemenuhan hak-hak konsumen.
Namun aksi itu bukan untuk menuntut hak-hak mereka sebagai karyawan (karena adanya suatu pelanggaran), melainkan upaya untuk mengembalikan marwah GA sebagai maskapai bergengsi dan bahkan menyelamatkannya dari kebangkrutan.
Beberapa hal terjadi pada GA belakangan ini. Pertama, buruknya OTP (on time performance). OTP adalah roh dari sebuah maskapai. Ironisnya, OTP GA kian menurun, baik di skala nasional maupun ASEAN. OTP terakhir GA hanya mengantongi skor 72-75. Padahal skor ideal untuk sebuah maskapai adalah 85. Di tingkat ASEAN, peringkat GA hanya bertengger di angka 8, tergusur oleh Batik Air, yang bertengger di peringkat pertama. Pantas saja konsumen di berbagai bandar udara sering protes atas pelayanan GA karena seringnya terjadi penundaan keberangkatan.
Kedua, layanan GA di berbagai lini juga mengalami penurunan, terutama dari aspek layanan kabin, seperti hilangnya permen, tisu basah, koran, dan menurunnya kualitas makanan/minuman. Bahkan, di sisi sumber daya manusia pun mengalami hal serupa. Misalnya soal jumlah pramugari, yang idealnya ada enam orang di setiap penerbangan, disunat menjadi empat orang saja. Bahkan ada suatu insiden pembagian makanan ringan dilakukan saat proses boarding demi menghemat waktu karena berkurangnya jumlah pramugari.
Mengapa hal itu terjadi? Pertama, manajemen GA melakukan pemotongan anggaran demi efisiensi. Sejatinya tidak ada yang salah dengan efisiensi. Namun, jika efisiensi itu berujung pada merosotnya pelayanan atau bahkan berpotensi tidak aman, ini jelas blunder serius (mismanagement) di internal manajemen GA.
Kedua, manajemen baru GA menerapkan sistem baru yang belum teruji keandalannya. Benar, itu sistem baru warisan manajemen lama. Tapi, jika sistem baru tersebut belum tuntas dan belum teruji, mengapa dijalankan? Amburadullah jadinya. Akibat dari pelaksanaan sistem baru yang sembrono itu, manajemen kru kabin jadi kacau. Sebagai contoh, berdasarkan sistem, kru kabin dinyatakan dalam posisi sedang bertugas (on duty), tapi faktanya tidak (off duty) atau sebaliknya. Atau kru kabin dalam posisi sedang bertugas di Tokyo, padahal sedang berada di Bali. Akibatnya, jadwal penerbangan GA menjadi kacau dan keterlambatan panjang tak bisa dihindari.
Ketiga, pemerintah (khususnya Menteri Badan Usaha Milik Negara) terlalu gegabah menempatkan personel yang tidak kompeten dan kapabel di bidangnya. Hal ini karena mayoritas anggota direksi adalah orang-orang perbankan dan konsultan yang pengetahuannya nol besar dalam perencanaan bisnis di sektor penerbangan. Bahkan, dua posisi direksi, yakni direktur operasional dan direktur keselamatan, yang seharusnya sesuai dengan regulasi harus diisi orang teknis (pilot), eh dilego pula ke orang non-maskapai. Inilah salah satu pangkal yang menjadi sumber keruwetan di GA.
Keempat, kondisi kian semrawut patut diduga dilakukan dengan sengaja. Ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengerdilkan GA. Bahkan, bisa jadi GA dirancang akan "dimerpatikan" dan kemudian memberikan ruang yang sangat besar bagi maskapai tertentu. Ingat, industri penerbangan di Indonesia kini sedang dalam puncak persaingan yang amat ketat.
Agar rencana aksi mogok pekerja serta pilot tidak benar-benar terjadi dan Garuda tidak sekarat secara sistematis, harus ada langkah penyelamatan yang cepat. Baik manajemen GA maupun pemerintah jangan menggunakan "jurus mabuk" dalam memasang personel manajemennya. GA tidak boleh terpuruk dan harus tetap menjadi operator penerbangan yang bergengsi.