OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) tidak cukup hanya mengingatkan masyarakat agar berhati hati terhadap pegadaian ilegal. Jika praktik lancung tersebut telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat, OJK mesti cepat menindak sejumlah perusahaan yang menjalankan bisnis gadai tanpa izin itu.
Sejauh ini OJK telah mengidentifikasi sekitar 460 perusahaan gadai yang beroperasi secara ilegal. Omzet mereka mencapai Rp 600 miliar dengan jumlah nasabah sekitar 700 ribu orang. Pengelola bisnis ini kebanyakan berbentuk koperasi dan cukup banyak pula perseroan terbatas. Meski omzetnya hanya sekitar lima persen dari pangsa pasar pegadaian di Indonesia, kalau praktik ini dibiarkan berlarut-larut dan terjadi penyelewengan, jelas sejumlah besar masyarakat akan dirugikan.
Undang-undang memberi OJK wewenang yang luas untuk mengawasi bisnis keuangan di negara ini, termasuk wewenang khusus menyidik tindak pidana di sektor jasa keuangan. Mengenai pegadaian, pada 2016 OJK menerbitkan Peraturan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pegadaian yang mengatur soal perizinan dan tata cara penyelenggaraan bisnis gadai. Kriteria pelanggaran dan ragam hukuman dari ringan hingga berat telah tersedia.
Lembaga ini juga dilengkapi dengan Satuan Tugas Waspada Investasi. Satgas yang dibentuk dengan melibatkan kejaksaan dan kepolisian ini memiliki keahlian menyelidiki, menganalisis, hingga menghentikan praktik-praktik investasi dan bisnis keuangan yang ilegal.
Dengan segala kewenangan, fasilitas, dan perangkat yang dimilikinya itu, OJK semestinya dapat menindak para pelaku gadai ilegal tanpa banyak kesulitan. Apalagi hampir semua perusahaan tersebut beroperasi secara terang-terangan: mereka berbadan hukum, mendirikan outlet di daerah-daerah ramai, bahkan ada yang beriklan.
Karena itu, perusahaan gadai yang belum mendaftar dan tidak taat aturan mesti langsung ditindak ketika masa tenggang yang diberikan berakhir, yakni pada akhir Juli mendatang. Jangan menunggu sampai ada korban untuk mulai bergerak. Selain itu, ada baiknya OJK menyediakan call center dan menerbitkan daftar pegadaian bermasalah.
Kita tahu, dalam beberapa kasus lain, OJK lalai dan terlambat mengantisipasi bisnis keuangan yang merugikan masyarakat. Padahal salah satu tujuan pembentukan OJK adalah melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Terakhir adalah kasus perusahaan penyelenggara haji dan umrah First Travel serta Abu Tour, yang menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan tabungan triliunan rupiah dan terhambat menjalankan ibadah di Tanah Suci.
Bertindak tegas dalam koridor kewenangan yang tersedia menjadi kewajiban OJK. Sebagai lembaga independen yang para pejabat dan petugasnya termasuk bergaji paling besar di republik yang belum kaya ini, OJK mesti membuktikan kepada masyarakat bahwa imbalan besar itu sepadan dengan profesionalisme dalam menjalankan tugas utamanya melindungi masyarakat dalam bertransaksi keuangan.