IBU kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya.
Lagu ini pasti meriah dinyanyikan anak-anak sekolah dasar, juga murid taman kanak-kanak, pada hari ini. Putri-putri mungil itu akan repot dengan kebayanya dan tentu lebih repot lagi ibunya yang mendandani. Pelajar putri di sekolah menengah barangkali kurang bergairah karena sibuk dengan ujian nasional. Sedangkan karyawan wanita di kantor-kantor swasta maupun pemerintah, kali ini boleh absen mengenakan kebaya. Hari Kartini bukan pada hari kerja tahun ini.
Hari Kartini identik dengan kebaya. Barangkali benar kebaya itu membuat wanita lebih anggun. Apalagi dipadu dengan kain kemben dan rambut yang disanggul, dengan atau tanpa konde. Sudah lama ada aturan, kalau ada undangan resmi yang menyebutkan "pakaian nasional" para ibu-ibu umumnya "berpakaian Kartini". Bahkan di Bali para wanita-dari bocah kecil sampai nenek-nenek-mengenakan kebaya saat ritual keagamaan. Orang-orang tua di pedesaan masih menyebut kebaya itu "pakaian potongan Jawa". Maklum, di masa lalu busana wanita Bali bukan kebaya.
Pemikiran Kartini tenggelam oleh keanggunan putri Jepara itu dengan kebayanya. Lagi pula bagaimana menjelaskan kegundahan Kartini akan nasib bangsanya, apalagi menjelaskan tentang feodalisme pada zamannya, kepada murid TK dan SD? Tidak akan nyambung. Anak-anak itu lebih tertarik dengan gaya pakaiannya yang khusus sambil bernyanyi-nyanyi "putri Indonesia harum namanya..." Wage Rudolf Supratman membuat lagu Kartini dengan penuh sanjungan, meski generasi masa kini hanya melafalkan satu stanza saja dari tiga stanza yang ada. Persis ketika kita menyanyikan lagu Indonesia Raya, cukup dengan satu stanza.
"Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah…." Ini cuplikan sebuah puisi. Foto Kartini yang dihafal oleh masyarakat negeri ini adalah rambut "sari konde" itu. Keindahan busana dan tatanan rambut, disertai wajah Kartini yang "pasrah pada nasib", lebih mudah meresap dalam jiwa bangsa dan karena itu lebih mudah pula diingat hari kelahirannya yang jadi hari nasional. Beda dengan Hari Ibu 22 Desember. Orang sering bertanya, hari apa pula itu?
Padahal Hari Ibu adalah peringatan mengenang semangat wanita Indonesia untuk meningkatkan kesadarannya dalam berbangsa dan bernegara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pemimpin pergerakan wanita melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Tanggal itulah yang ditetapkan sebagai Hari Ibu oleh Presiden Sukarno pada 1959.
Tapi saat ini yang dirayakan pada Hari Ibu bukan bagaimana kaum perempuan Indonesia berjuang untuk bangsanya, tetapi lebih pada masalah keseharian. Misalnya, bagaimana membebaskan ibu-ibu dari pekerjaan rutinnya seperti memasak, merawat anak, meladeni suami, dan mungkin pula mencuci pakaian atau menyapu. Anak-anaknya yang sudah besar lalu memberi berbagai hadiah untuk ibu pada hari yang diperingati secara nasional. Mungkin ini imbas dari Mother's Day di berbagai negara yang harinya tidak sama. Seberapa banyakkah pada tanggal 22 Desember itu orang ingat ada tokoh seperti Dewi Sartika atau Cut Nyak Dien, misalnya? Padahal mereka ibu pejuang yang tak boleh dilupakan.
Kita sudah mulai malas belajar sejarah dan lebih senang gosip politik yang penuh caci-maki. Kita bisa lupa apa saja yang diperbuat oleh pahlawan bangsa di masa lalu. Lambat laun Hari Kartini mungkin hanya dimaknai sebagai Hari Kebaya-karena yang kita ketahui hanya wujud luarnya saja. Bukan pemikirannya yang menginspirasi.
PUTU SETIA