Sutradara Ismail Basbeth mempunyai pesan: Jangan menyaksikan film adaptasi pertama tahun 1987, kecuali bagi yang sudah terlanjur menyaksikan, karena ini tafsir generasi masa kini.
Saya punya pesan juga untuk para sineas yang berani melakukan remake (pembuatan ulang) film yang berhasil di masa lalu (baik dari sisi komersil maupun dari kualitas dan penghargaan): bersiaplah untuk selalu dibandingkan. Jika tak siap, jangan terjun ke arena pembuatan ulang.
Apa yang dilakukan oleh Ismail Basbeth mengandung dua risiko: pertama film “Arini, Masih Akan Ada Kereta yang Lewat” diangkat dari novel karya Mira W yang populer bagi pembacanya. Kedua, sutradara Sophan Sophiaan berhasil mengadaptasi menjadi film yang laris sekaligus mendapatkan piala Citra untuk Widyawati yang berperan sebagai Arini.
Keistimewaan film yang disutradarai Sophan karena cinta si anak muda Nick yang bengal dan lincah (Rano Karno) kepada Arini yang 15 tahun lebih tua daripadanya tidak jatuh menjadi percintaan ‘tante-berondong’ yang didorong oleh lonjakan hormon. Widyawati dan Rano Karno memberikan harkat kepada tokoh-tokohnya. Arini dan Nick di tahun 1987 seperti sebuah cerita cinta yang baru, tulus dan tetap menampilkan keseimbangan antara Nick yang banyak bicara menghadapi Arini yang murung dan tegang.
Adegan film Arini yang diangkat dari novel Mira W digarap sutradara Ismail Basbeth. Dibintang Morgan Oey dan Aura Kasih (Falcon Pictures)
Bahwa sutradara Ismail Basbeth menyarankan kedua pemain utamanya Aura Kasih dan Morgan Oey untuk tidak menyaksikan film versi tahun 1987 sebetulnya tak perlu, karena lazimnya setiap aktor yang baik tak akan dan tak ingin meniru tafsir aktor lain terhadap tokoh yang akan diperankannya.
Inti cerita film Arini terbaru ini tetap setia pada novel maupun film pertama. Nick (Morgan Oey) mendadak muncul begitu saja di hadapan Arini (Aura Kasih) di atas kereta api di Jerman. Nick yang asertif dan terus menerus mengejar Arini; sementara Arini sepanjang film membalas Nick dengan wajah cemberut. Persoalan mereka, ternyata bukan masalah perbedaan usia 15 tahun yang di tahun 1980-an tampaknya seperti momok heboh, melainkan masa lalu dan trauma Arini dalam berumah tangga. Apa boleh buat, meski sinematografi memperlihatkan serangkaian kecantikan panorama kota-kota di Jerman.
Adakah ‘kebaruan’ dalam film versi Basbeth seperti yang diucapkan pada wartawan, di luar pemain yang berbeda dan setting yang dikembalikan ke Jerman sesuai novel (sementara versi Sophan Sopiaan dipindahkan ke San Fransisco, AS)?
Kalau ‘kebaruan’ diartikan sebagai sebuah karya yang diproduksi dan ditafsir ulang 21 tahun kemudian, tentu memang itu yang dilakukan produser maupun sutradara. Tetapi menyaksikan versi ‘baru’ ini sejak awal hingga akhir bukan hanya mengecewakan karena karya Sophan Sophiaan bersinar, tetapi karena Ismail Basbeth adalah sutradara yang pernah saya gadang-gadang setelah karyanya yang asyik berjudul “Mencari Hilal” (2015).
Adegan film Arini yang diangkat dari novel Mira W digarap sutradara Ismail Basbeth. Dibintang Morgan Oey dan Aura Kasih (Falcon Pictures)
Plot novel dan film Arini yang kompleks dan sedikit ganjil (bagaimana seorang ibu tak tahu anaknya masih hidup atau bahkan merelakan anaknya dirawat ayah dan perempuan yang merebut suaminya, itu agak sulit masuk nalar). Namun sutradara selalu memiliki lisensi kreatif untuk bisa mengambil dan menafsir inti novel tersebut: pergolakan batin Arini dan seorang Nick yang tetap mencintainya tanpa syarat.
Bagi generasi saya pasti kita pernah takjub bagaimana Teguh Karya pada 1977 menyulap Badai Pasti Berlalu (diangkat dari novel Marga T yang sangat laris dan populer) menjadi film serius, dalam, artistik. Tak heran meski Teddy Soeriaatmadja pada 2007 mencoba menafsir ulang novel tersebut, dengan segala kemodernan dan kebaruan (tokoh Siska yang digambarkan lebih asertif) tetap saja tak bisa mengejar kebesaran dan keabadian film versi Teguh Karya yang lagu-lagunya masih saja menembus ruang dan waktu.
Problem Basbeth bukan karena film versi Sophan sudah telanjur melekat di hati generasi ‘sepuh’, melainkan karena skenario yang lemah yang tak berhasil menampilkan dialog-dialog yang meyakinkan bahwa pasangan ini sebetulnya memang duo yang jatuh cinta dengan hadangan soal psikologi. Meski Nick digambarkan sebagai lelaki muda yang lincah, spontan, sedikit bengal tapi berhati emas, dialog yang ditampilkan penulis skenario Titien Wattimena lebih memperlihatkan tokoh yang dikejar lonjakan hormon.
Problem lain adalah Basbeth tak berhasil membuat penonton (atau saya) simpati pada Arini atau istilah lazim “rooting for the protagonist”. Arini adalah seorang perempuan paruh baya cantik, mandiri yang mempunyai masa lalu tragis. Apakah tragedi itu harus diterjemahkan dengan Arini yang setiap kali berbicara hanya menatap ke depan —ogah menatap lawan bicaranya siapapun dia—dan jutek pada semua orang (kecuali atasannya)?
Arini yang saya bayangkan mempunyai lapis-lapis karakterisasi dan tafsir yang jauh lebih kompleks daripada sekedar cemberut sepanjang 90 menit.
Dengan beberapa lagu populer seperti Kaulah Segalanya (Tito Sumarsono, dipopulerkan Ruth Sahanaya) dan Mencintaimu (Beby Romeo, dipopulerkan Kris Dayanti) serta lagu Do You Really Love Me (Beby Romeo) yang dinyanyikan oleh Morgan Oey dan Claresta dengan aransemen baru sebetulnya menarik dan asyik didengar. Tetapi musik sebagus apapun tak bisa membantu film dengan skenario dan penyutradaraan yang lemah.
Tentu saja saya menulis sekeras ini karena masih peduli dan masih percaya bahwa film Mencari Hilal bukan sebuah ‘one hit wonder’. Jika sudah putus asa, pastilah kita lewatkan saja dan sama sekali tak memusingkan. Saya masih (ingin) percaya Basbeth adalah sutradara yang kelak menghasilkan karya yang tidak mengecewakan.
ARINI
Sutradara: Ismail Basbeth
Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Aura Kasih, Morgan Oey
LEILA S. CHUDORI