PEMERINTAH semestinya berhenti sembunyi-sembunyi soal subsidi Premium. Kalau pemerintah memang belum rela melepas harga bahan bakar minyak pada mekanisme pasar, beban subsidi seharusnya dimasukkan resmi ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebaliknya, jika berniat benar-benar menghapus subsidi, jangan lagi membebani Pertamina dengan kewajiban menyediakan Premium dengan harga murah.
Ambiguitas pemerintah ini jadi sorotan karena, pekan lalu, Presiden Joko Widodo meminta Pertamina kembali menjual Premium di Jawa, Madura, dan Bali. Kelangkaan Premium disebut-sebut jadi alasannya. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar segera mengiyakan instruksi Presiden dan memastikan Peraturan Pemerintah Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM akan diubah. Ini jelas kabar buruk buat Pertamina.
Dengan menjual Premium di luar Jawa, Madura, dan Bali seharga Rp 6.550 per liter saja Pertamina sebenarnya sudah rugi. Pasalnya, harga pokok per liter Premium sudah Rp 2.000 lebih mahal dari itu. Bisa dipastikan kerugian Pertamina bakal berlipat jika mereka wajib menjual Premium di seluruh Indonesia.
Kisruh ini bermula dari kebijakan Presiden Joko Widodo menghentikan subsidi Premium pada awal 2015. Sejak itu, beban subsidi bahan bakar minyak dalam APBN memang terus berkurang: dari Rp 46,7 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 7,1 triliun tahun lalu. Jokowi pun bergelimang pujian.
Belakangan, kita tahu, pencabutan subsidi tak sepenuh hati. Pemerintah ternyata masih mengatur Premium sebagai BBM khusus yang harganya ditetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Harga itu ditinjau ulang setiap tiga bulan. Yang bikin runyam, harga pemerintah hampir selalu lebih rendah daripada harga pasar. Walhasil, Pertamina sebagai satu-satunya penjual Premium dipaksa menanggung selisih harga sampai triliunan rupiah setiap tahun.
Praktik subsidi terselubung ini membuat pendapatan Pertamina tergerus sekitar Rp 19 triliun pada 2017. Untung saja kerugian Pertamina bisa ditekan karena perusahaan itu hanya diwajibkan menjual Premium dengan harga yang ditetapkan pemerintah di luar Jawa, Madura, dan Bali. Di luar itu, Pertamina bermanuver dengan menjual Pertalite.
Bisa dibayangkan: permintaan Presiden agar Pertamina kembali berjualan Premium di Jawa, Madura, dan Bali pasti bakal membuat kerugian badan usaha milik negara itu berlipat-lipat. Sulit membayangkan Pertamina dapat berkembang dengan menanggung kerugian besar setiap tahun. Di sisi lain, mengembalikan subsidi Premium ke APBN jelas bukan opsi yang masuk akal. Ruang fiskal di APBN kita tak cukup longgar untuk menyokong kebijakan itu tanpa membahayakan kondisi perekonomian secara umum.
Pilihan pemerintah memang tak banyak. Koreksi atas Peraturan Pemerintah Nomor 191 Tahun 2014 dibutuhkan, tapi bukan untuk memaksa Pertamina menjual Premium di Jawa, Madura, dan Bali. Pemerintah justru harus memasukkan Premium ke kelompok BBM umum, seperti Pertamax, agar harganya boleh ditentukan sendiri oleh perusahaan penyalur. Apalagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebenarnya telah menyerahkan harga BBM dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, asalkan yang sehat dan wajar.
Harus diakui, dengan kebijakan ini, popularitas Presiden Jokowi di masyarakat kelas menengah ke bawah terancam turun. Tapi dia akan mendapat banyak pendukung baru karena tak lagi mengelabui publik soal subsidi.