Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Nasib Kebebasan Beragama Kita

image-profil

image-gnews
Samanera (calon bikhu) memberikan penjelasan saat mendampingi siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Ulum Batu yang berkunjung ke Vihara Dhammadipa Arama, Batu, Jawa Timur, 15 Februari 2018. Kegiatan ini untuk mengenalkan keragaman agama di Indonesia dan menanamkan sikap toleransi antar umat beragama sejak dini. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Samanera (calon bikhu) memberikan penjelasan saat mendampingi siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Ulum Batu yang berkunjung ke Vihara Dhammadipa Arama, Batu, Jawa Timur, 15 Februari 2018. Kegiatan ini untuk mengenalkan keragaman agama di Indonesia dan menanamkan sikap toleransi antar umat beragama sejak dini. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Iklan

Penjajahan telah dihapus dengan kebangkitan bangsa-bangsa. Namun hari ini mentalitas penindas terus diperlihatkan masyarakat kita. Faktanya, Indonesia dalam Indeks Kerapuhan selalu berada pada kategori "hampir waspada". Tahun lalu, posisinya hanya satu peringkat di atas negeri penuh perang, Bosnia-Herzegovina (Fragile States Index, 2017). Banyaknya kasus di Indonesia sepanjang 2017 juga dicatat Human Rights Watch dan bahkan telah memunculkan kesan global bahwa pemerintah gagal memerangi intoleransi (HRW World Report, 2018).

Isi laporan itu senada. Kita rapuh dalam masalah minoritas kehidupan beragama. Ada kondisi yang menempatkan pihak minoritas harus berhadapan dengan hukum yang "berpihak" dan intimidasi dari kelompok islamis militan. Selalu ada spirit minoritas-mayoritas dalam setiap aksi melewati batas dengan mindset bahwa mayoritas harus dihargai sebagai yang berhak mengatur (ruling-class).

Baca Juga:

Intoleransi kini semakin jadi pemandangan yang mudah dijumpai. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat peningkatan kasus intoleransi yang masuk, dari 74 kasus pada 2014 menjadi 100 kasus pada 2016. Setara Institute mencatat, sepanjang 2017 terjadi 151 pelanggaran kebebasan beragama dalam 201 tindakan.

Kekerasan berbungkus agama tentu bukan representasi umat tertentu. Misalnya, razia rumah makan yang dilakukan serampangan oleh kelompok tertentu pada bulan Ramadan. Banyak kritik justru datang dari sesama muslim. Masalahnya, kebanyakan keprihatinan itu mengendap sebagai mayoritas diam.

Dalam kehidupan modern, diskriminasi agama adalah ironi. Agama adalah batas paling privat individu. Di Indonesia, hak berkehidupan beragama pun diakui sebagai hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945. Artinya, pembiaran atas terusiknya kehidupan beragama individu atau kelompok adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.

Tapi mengapa kasus intoleransi yang melanggar hukum sulit diangkat, padahal kekerasan sebagai tindak pidana telah diatur dalam undang-undang? Sebab, ini adalah tindakan komunal. Seperti pepatah, "satu orang menimpuk batu adalah kriminal, jika seribu orang itu politik", aparat hukum kesulitan mengambil tindakan tanpa political will dari para elite di pemerintahan. Dengan kata lain, butuh komitmen dan langkah politik yang konkret untuk mengaktifkan instrumen hukum untuk menyelesaikan kejahatan yang sedang berlangsung. Merebaknya "pelintiran kebencian" (hate spin) di Indonesia sebagai strategi politik lapangan adalah "kegagalan politik" para elite, sebagaimana disebut Cherian George dalam Hate Spin (2016).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari setumpuk kasus intoleransi itu, tidak ada kebijakan pemerintah dalam menyelesaikannya, apalagi kerangka kerja pencegahan. Aksi intoleran di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta yang bermunculan hingga hari ini tidak bisa dijawab pemerintah daerahnya secara jelas. Padahal Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 nyata-nyata memberikan mandat dan otoritas kepada setiap kepala daerah untuk mengambil tindakan dalam melindungi setiap penduduk untuk beribadah.

Hal yang aneh, regulasi itu malah digunakan kelompok intoleran sebagai dasar argumen tindakannya. Sedangkan pemerintah hanya merespons dengan pernyataan soal keprihatinan.

Mengapa komitmen elite politik dan pemerintah menjadi hal yang langka? Jawabannya pada sistem sosial-politik yang sedang kita jalani sekarang. Kita belum terbiasa dengan perbedaan, bahkan dalam kondisi yang butuh segera diselesaikan seperti sekarang. Sistem sosial-politik kita terbiasa bermain dalam logika trade-off: mengelola yang satu akan dianggap mengesampingkan yang lain. Kita minim penjiwaan pada kebangsaan. Jika ada kebijakan yang akan menindak kelompok tertentu, provokasi bahwa pemerintah berpihak pada agama lain gampang memanas dan melahirkan sinisme.

Para politikus pun gamang. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak di antara elite kita memakai isu kesukuan, agama, ras, dan golongan untuk menghitung konstituen dalam proses kampanyenya. Dengan masukan politik semacam itu, fleksibilitas politikus dalam kerja-kerja negarawan sebagai keluaraannya menjadi sangat terbatas. Umumnya mereka takut konstituen tidak akan memilihnya lagi dan lebih mencari aman dengan tidak berada "dekat-dekat" dengan isu kebangsaan semacam ini.

Apakah tidak ada harapan buat penyelesaian insiden berbungkus agama ini? Kita sebagai rakyat perlu meyakinkan para elite politik dan pemerintah bahwa penyelesaian masalah keagamaan tidak akan membuat mereka kehilangan kekuatan politik. Justru keberpihakan para elite terhadap kerukunan dan kebangsaan akan melahirkan apresiasi publik.

Sayfa Auliya Achidsti
Kepala Riset Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama Yogyakarta

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

25 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.