Penjajahan telah dihapus dengan kebangkitan bangsa-bangsa. Namun hari ini mentalitas penindas terus diperlihatkan masyarakat kita. Faktanya, Indonesia dalam Indeks Kerapuhan selalu berada pada kategori "hampir waspada". Tahun lalu, posisinya hanya satu peringkat di atas negeri penuh perang, Bosnia-Herzegovina (Fragile States Index, 2017). Banyaknya kasus di Indonesia sepanjang 2017 juga dicatat Human Rights Watch dan bahkan telah memunculkan kesan global bahwa pemerintah gagal memerangi intoleransi (HRW World Report, 2018).
Isi laporan itu senada. Kita rapuh dalam masalah minoritas kehidupan beragama. Ada kondisi yang menempatkan pihak minoritas harus berhadapan dengan hukum yang "berpihak" dan intimidasi dari kelompok islamis militan. Selalu ada spirit minoritas-mayoritas dalam setiap aksi melewati batas dengan mindset bahwa mayoritas harus dihargai sebagai yang berhak mengatur (ruling-class).
Intoleransi kini semakin jadi pemandangan yang mudah dijumpai. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat peningkatan kasus intoleransi yang masuk, dari 74 kasus pada 2014 menjadi 100 kasus pada 2016. Setara Institute mencatat, sepanjang 2017 terjadi 151 pelanggaran kebebasan beragama dalam 201 tindakan.
Kekerasan berbungkus agama tentu bukan representasi umat tertentu. Misalnya, razia rumah makan yang dilakukan serampangan oleh kelompok tertentu pada bulan Ramadan. Banyak kritik justru datang dari sesama muslim. Masalahnya, kebanyakan keprihatinan itu mengendap sebagai mayoritas diam.
Dalam kehidupan modern, diskriminasi agama adalah ironi. Agama adalah batas paling privat individu. Di Indonesia, hak berkehidupan beragama pun diakui sebagai hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945. Artinya, pembiaran atas terusiknya kehidupan beragama individu atau kelompok adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.
Tapi mengapa kasus intoleransi yang melanggar hukum sulit diangkat, padahal kekerasan sebagai tindak pidana telah diatur dalam undang-undang? Sebab, ini adalah tindakan komunal. Seperti pepatah, "satu orang menimpuk batu adalah kriminal, jika seribu orang itu politik", aparat hukum kesulitan mengambil tindakan tanpa political will dari para elite di pemerintahan. Dengan kata lain, butuh komitmen dan langkah politik yang konkret untuk mengaktifkan instrumen hukum untuk menyelesaikan kejahatan yang sedang berlangsung. Merebaknya "pelintiran kebencian" (hate spin) di Indonesia sebagai strategi politik lapangan adalah "kegagalan politik" para elite, sebagaimana disebut Cherian George dalam Hate Spin (2016).
Dari setumpuk kasus intoleransi itu, tidak ada kebijakan pemerintah dalam menyelesaikannya, apalagi kerangka kerja pencegahan. Aksi intoleran di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta yang bermunculan hingga hari ini tidak bisa dijawab pemerintah daerahnya secara jelas. Padahal Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 nyata-nyata memberikan mandat dan otoritas kepada setiap kepala daerah untuk mengambil tindakan dalam melindungi setiap penduduk untuk beribadah.
Hal yang aneh, regulasi itu malah digunakan kelompok intoleran sebagai dasar argumen tindakannya. Sedangkan pemerintah hanya merespons dengan pernyataan soal keprihatinan.
Mengapa komitmen elite politik dan pemerintah menjadi hal yang langka? Jawabannya pada sistem sosial-politik yang sedang kita jalani sekarang. Kita belum terbiasa dengan perbedaan, bahkan dalam kondisi yang butuh segera diselesaikan seperti sekarang. Sistem sosial-politik kita terbiasa bermain dalam logika trade-off: mengelola yang satu akan dianggap mengesampingkan yang lain. Kita minim penjiwaan pada kebangsaan. Jika ada kebijakan yang akan menindak kelompok tertentu, provokasi bahwa pemerintah berpihak pada agama lain gampang memanas dan melahirkan sinisme.
Para politikus pun gamang. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak di antara elite kita memakai isu kesukuan, agama, ras, dan golongan untuk menghitung konstituen dalam proses kampanyenya. Dengan masukan politik semacam itu, fleksibilitas politikus dalam kerja-kerja negarawan sebagai keluaraannya menjadi sangat terbatas. Umumnya mereka takut konstituen tidak akan memilihnya lagi dan lebih mencari aman dengan tidak berada "dekat-dekat" dengan isu kebangsaan semacam ini.
Apakah tidak ada harapan buat penyelesaian insiden berbungkus agama ini? Kita sebagai rakyat perlu meyakinkan para elite politik dan pemerintah bahwa penyelesaian masalah keagamaan tidak akan membuat mereka kehilangan kekuatan politik. Justru keberpihakan para elite terhadap kerukunan dan kebangsaan akan melahirkan apresiasi publik.
Sayfa Auliya Achidsti
Kepala Riset Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama Yogyakarta