SERATUS hari menjabat Gubernur DKI Jakarta, terasa benar jika Anies Baswedan ingin menjadi antitesis pendahulunya: Basuki Tjahaja Purnama. Dia mengubah fungsi jalan raya untuk memberi tempat pedagang kaki lima di Pasar Tanah Abang. Dia juga mempersilakan tukang becak kembali beroperasi dengan terbuka. Kebijakan Basuki soal reklamasi bahkan ditinggalkan sama sekali.
Sayangnya, ada kesan semua itu dilakukan dengan tergesa. Dalam soal becak, misalnya. Anies Baswedan dan wakilnya, Sandiaga Uno, menyebutnya sebagai pemenuhan janji kampanye, seraya mengutip bahwa gubernur sebelumnya, Joko Widodo, membuat kontrak politik serupa. Demikian juga soal pembatalan penggusuran dan penataan kawasan kumuh di utara Jakarta. Wajar jika publik jadi curiga bahwa semua kebijakan itu adalah pencitraan untuk kepentingan politik belaka.
Tentu tak ada yang keliru jika Anies ingin membangun Jakarta dengan pendekatan yang lebih akomodatif pada kepentingan warga kelas bawah. Kemiskinan di Jakarta memang soal menahun yang tak kunjung terpecahkan. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada Maret 2017, masih ada 3,77 persen penduduk Jakarta yang dikategorikan miskin, naik sedikit dibanding tahun sebelumnya. Itu sama dengan sekitar 390 ribu jiwa.
Apalagi basis pemilih Anies memang kelompok masyarakat menengah ke bawah. Dari 58 persen warga Jakarta yang memilih Anies pada pemilihan awal tahun lalu, 52 persen adalah warga kelas menengah-bawah. Sebanyak 65 persen hanya berpendidikan sekolah menengah atas ke bawah. Kelompok masyarakat yang berpendidikan S-1 ke atas memang lebih banyak memilih Basuki. Tak salah jika Anies ingin mengutamakan kepentingan pemilihnya. Demikianlah seharusnya adab seorang politikus yang menang dalam sebuah kontestasi politik.
Masalahnya, kebijakan baru Anies kerap tak sinkron dengan regulasi yang sudah ada. Penataan pasar di jalan raya, misalnya, melanggar Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pelonggaran aturan soal becak menabrak dua peraturan daerah yang sudah ada. Sementara itu, perombakan desain transportasi publik malah belum masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Jakarta. Pola semacam ini berpotensi menimbulkan masalah. Tak hanya soal alokasi anggaran, tapi juga soal koordinasi antarinstansi di lapangan.
Yang juga mengkhawatirkan adalah kabar bahwa Anies Baswedan lebih sering membahas kebijakannya dengan sejumlah konsultan khusus dari tim pendukungnya. Tidak melibatkan satuan kerja perangkat daerah yang kelak melaksanakan kebijakannya, juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI sebagai mitranya merumuskan peraturan, bisa jadi blunder buat Anies.
Selain itu, Anies sebaiknya mengelola pola diseminasi informasi publiknya dengan lebih rapi. Dengan demikian, pernyataan ataupun rencana kebijakan yang dia lempar melalui media massa tak sekadar bikin gaduh.
Sembari mengatasi kemiskinan sebagai prioritas kerja, Anies tak boleh lupa sudah sekian lama Jakarta dihadapkan pada problem akut kemacetan dan banjir. Dia harus memastikan dua masalah ini teratasi dengan tahapan yang jelas dan terukur, agar semua warga Ibu Kota merasakan manfaat kepemimpinannya.
Boleh-boleh saja Anies membangun simpati publik dengan berbagai upaya memperbaiki keadilan sosial, selama semua kebijakannya benar-benar berdampak untuk khalayak ramai. Politik kerakyatan ala Anies di Jakarta tak boleh jadi sekadar gincu.