Kecelakaan kereta api Senja Bengawan di Banyumas, Jawa Tengah, baru-baru ini, merupakan sinyal penting bagi pemerintah. Inilah saatnya lebih serius membenahi sarana dan manajemen perkeretaapian. Jangan melihat jumlah korban tewas yang jauh lebih kecil dibanding musibah Adam Air dan kapal Senopati. Tapi tengoklah betapa seringnya kecelakaan serupa terjadi, padahal teknologi transportasi ini tidak terlalu rumit, dan kita sudah lama menguasainya.
Hanya berselang dua hari dari kecelakaan yang menewaskan lima penumpang itu, kejadian serupa muncul. Di Pasuruan, Jawa Timur, sepur yang mengangkut tangki bahan bakar minyak anjlok pada Rabu lalu. Sehari kemudian, perjalanan sejumlah kereta listrik rute Bekasi-Jakarta tertunda berjam-jam lantaran kawat pemasok listrik di jalur itu putus tersenggol kereta.
Tergulingnya kereta Bengawan diduga karena sambungan salah satu gerbongnya putus lantaran aus atau sebab lain. Kereta pengangkut minyak anjlok diperkirakan lantaran bantalan rel di sana sudah lapuk. Jadi hampir dipastikan, semua kecelakaan, termasuk putusnya kawat pemasok listrik di jalur Bekasi-Jakarta, terjadi akibat kondisi sarana yang digunakan PT Kereta Api Indonesia.
Angka kecelakaan kereta api yang disebabkan oleh buruknya sarana selama ini memang cukup tinggi. Pada 2005 terjadi 99 kasus kereta yang anjlok atau terguling. Angka menurun jadi 52 kasus pada tahun lalu, tapi bisa saja naik lagi pada tahun ini. Soalnya, memang belum ada perbaikan yang berarti terhadap sarana transportasi ini.
Semua itu berakar pada manajemen perkeretaapian yang amburadul. PT KAI tidak berkembang wajar karena amat bergantung pada pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, perusahaan pemerintah itu wajib menyantuni masyarakat kelas bawah lewat tarif yang murah. Ini berakibat PT KAI selalu rugi.
Pemerintah sebetulnya berkewajiban mengganti subsidi yang dikeluarkan PT KAI. Tapi, prakteknya, pemerintah selalu mempersulitnya. Selama ini Departemen Perhubungan juga kurang serius memperbaiki jalur kereta api dan fasilitas pendukung lain. Kalaupun ada kepedulian, sering kali peralatan yang dipasok tidak sesuai dengan kebutuhan PT KAI.
Itu sebabnya, langkah untuk merevisi undang-undang itu patut disokong. Rancangan Undang-Undang Perkeretaapian yang baru sedang dibahas di DPR. RUU ini semula bakal disahkan akhir tahun lalu, tapi ditunda karena ada beberapa hal yang belum disetujui parlemen. Undang-Undang Perkeretaapian yang anyar akan mengakhiri monopoli PT KAI dalam bisnis perkeretaapian.
Buat menyongsong era baru itu, pemerintah dan PT KAI tak boleh berpangku tangan. Persiapan harus dilakukan, termasuk memperbaiki kinerja PT KAI dan pelayanannya, bukan malah menambah rekor kecelakaan. Soalnya, kelak perusahaan ini akan bersaing dengan swasta yang diberi kesempatan berinvestasi di bisnis kereta api.