Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Bom Islam

Oleh

image-gnews
Iklan
BOM adalah bom. Namun, kata sahibul hikayat, pada suatu hari, seorang tokoh PPP mengungkapkan sebuah cita-cita. Tokoh itu adalah Ali Bhutto, dan PPP itu berarti People's Party dari Pakistan. Bhutto pernah memegang tampuk kepemimpinan negeri itu, dan negeri itu rupanya ingin membuat senjata dahsyat yang sudah dimiliki negeri-negeri lain itu. Konon, kata Bhutto, "Kaum Kristen, Yahudi, dan Hindu sudah membuatnya. Komunis telah memilikinya. Hanya Islam yang tidak mempunyainya." Sejak itu, sebutan "bom Islam" pun beredar. Terutama ketika diketahui, Pakistan sudah bersiap memproduksikan senjata nuklir itu. Dan waktu berjalan, riwayat berubah, Ali Bhutto mati digantung, Presiden Zia menggantikannya dan di Pakistan hukum syariat Islam semakin meluas diberlakukan. Lalu, keinginan untuk mampu membuat sebuah bom nuklir pun terlaksana. "Bom Islam" ? Kata itu mungkin cuma satu bagian dari retorik. Ketika prajurit-prajurit Amerika berangkat berperang ke Eropa untuk melawan Jerman di bawah Hitler, lagu yang diperdengarkan juga mengandung elemen yang sama -- sebuah usaha memompa kata dan semangat biar membubung: Onward, Christian Soldiers!. Di situ tak diacuhkan kemungkinan bahwa di antara para GI itu ada yang ateis, atau Yahudi, atau Mormon, dengan motif-motif yang berlainan pula. Perang ke Eropa di tahun-tahun itu juga dengan gagah disebut sebagai crusade -- seakan-akan yang berlangsung adalah sebuah perlawanan suci. Yang dianggap suci, yang dianggap agung dan mulia, memang sering dikibarkan untuk perkara yang memerlukan injeksi nilai. Ketika Ali Bhutto mengutarakan niatnya, saya kira dia cukup tahu bahwa tak ada hubungan sebenarnya antara bom atom Amerika dan kekristenan, dan bom India dengan kehinduan. Ketika bom atom pertama Amerika dicoba, dan cahaya besar tampak berkilat menyemburat bagaikan api matahari baru, salah seorang perancangnya, Oppenheimer, tergetar ngeri ia tak mengutip Injil, melainkan sebaris kalimat Bhagawat Gita.... Maka, bom Amerika bukanlah bom Kristen, sebagaimana bom Pakistan, bila sudah dibuat, bukanlah bom Islam. Tapi dengan mengaitkan proyek senjata nuklir dengan agama, saya kira Bhutto tahu ia hanya ingin menggabungkan diri dengan mitos -- seperti umumnya pemimpin politik. Mitos pertama adalah mitos tentang senjata nuklir: bom yang mengerikan itu umumnya diangggap sebagai satu senjata pamungkas, ibarat senjata Kunta dalam cerita wayang. Dan itu berarti, siapa saja yang menggunakannya akan bisa unggul dalan perang. Contoh satu-satunya ialah ketika Amerika menghadapi Jepang dan menghabisi Hiroshima. Tapi mitos adalah mitos: selalu ada yan teramat dilebih-lebihkan di dalamnya. Kini orang bisa mempersoalkan, benarkah hanya karena bom atom dalam perang besar tahun 40-an itu Jepang kalah. Sebelum Hiroshima hancur, Jepang telah terdesak. Saraf telah melemah. Bagi mereka yang sarafnya berkondisi lain, senjata itu -- seperti pernal dikatakan Mao Zhedong -- hanyalah "sebuah macan kertas". Kesimpulan: efekti atau tidaknya senjata itu sebagai ancaman akhirnya sama dengan ancaman bukan nuklir hasilnya tergantung soal kukuh atau tidaknya pihak yang mengancam dan pihak yang diancam. Tentu, Mao mungkin omong besar. Tapi agaknya memang sudah teramat lama orang punya semacam takhayul tentang persenjataan nuklir. Seorang guru besar fisika pada Institute for Advanced Study di Princeton Freeman J. Dyson, baru-baru ini menulis dalam sebuah simposium, "Kita cenderung menerima, tanpa secara serius mempertanyakannya lagi, ide bahwa senjata nuklir itu sangat menentukan secara militer." Dyson dengan pandangan yang segar, mencoba meruntuhkan mitos-mitos tentang bom itu. Tak berarti bom nuklir tak berbahaya. Bom itu sangat berbahaya, tapi pada saat yang sama juga tak berguna. Dalam skala kecil, ia belum tentu bisa menggertak lawan. Dalam skala yang besar, ia hanya akan menghancurkan dunia, termasuk diri kita sendiri. Namun, Ali Bhutto, seperti juga banyak pemimpin di dunia, tetap kepingin punya bom atom sendiri. Sebab, mitos tentang senjata nuklir telah menyebabkan ia mendapat kehormatan tinggi, suatu lambang kemajuan dan keunggulan. Ia bisa memberikan tambahan harga diri -- terutama bagi kaum yang terluka harga dirinya oleh sejarah. Ia bisa menjadi sumber kebanggaan, dan keyakinan, dan persatuan, dan entah apa lagi. Salahkah Bhutto? Salahkah Pakistan? Tidak. Setidaknya, dalam motif pertamanya tak ada niat untuk menjadi destruktif. Yang bisa meleset ialah bila kita salah bergerak dari mitos pertama, tentang senjata nuklir, ke dalam mitos kedua, yang menyamakan kemampuan Pakistan itu dengan kemampuan "Islam". Sejarah, selama beberapa abad setelah Nabi tak ada lagi, membuat daftar banyak negeri, banyak pihak, yang bisa mencantumkan "Islam" di panji-panji mereka. Toh kita tak tetap tahu bisakah mereka berbicara atas nama umat Islam semuanya. Goenawan Mohamad
Iklan


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada