Iklan
KITA miskin karena kita miskin. Ada ahli-ahli ekonomi yang dengan dingin menjelaskan kenapa sebuah negeri terkebelakang bisa menjadi begitu seret untuk kaya. Jawabnya: karena negeri itu tak punya pelbagai hal yang dimiliki negeri yang maju. Dalam pandangan ini, negeri mlskm itu ibarat seorang yang - menurut sebuah kepercayaan rakyat - berjalan di hutan dan terinjak akar mimang: ia berputar-putar terus di rimba itu, tak kunjung menemukan jalan lepas. Pendapatan masyarakatnya rendah, karena itu kemampuan membeli benda dan jasa pun rendah. Dengan kata lain, tak banyak permintaan. Maka, investasi tak bisa besar-besaran, dan produktivitas tak tinggi. Dengan hasil-hasil yang terbatas itu pendapatan pun tak akan naik, apalagi tabungan. Sebab itu, permintaan hanya minimal, dan lingkaran itu pun berputar lagi. Nasibkah, atau karena sesuatu yang lain? Kita membaca perkiraan orang, juga Bank Dunia, tentang tahun-tahun depan yang kurang cerah, dan makin merasa betapa tak mudahnya "lepas landas". Barangkali kita juga membaca kitab suci dan mencoba memahami kehendak Allah. Tapi kita telah mendengarkan amarah orang abad ke-20. Kita pun percaya, seperti Bertolt Brecht dalam salah satu sandiwaranya, bahwa "kemiskinan tak terjatuh dari atap seperti genting yang lepas." Apalagi ada seorang ahli sejarah. Paul Bairoch namanya, yang dari Jenewa mencoba membandingkan kekayaan dunia di abad ke-19. Dengan dasar dolar menurut harga-harga di Amerika Serikat di tahun 1960, Bairoch membuat kalkulasi yang cukup mengagetkan. Pada tahun 1800, pendapatan per kapita Eropa Barat mencapai $ 213, dan Amerika Utara $ 266. Pada waktu yang sama, angka itu di Dunia Ketiga mendung lebih rendah, tapi hanya sedikit lebih rendah: $ 200 kira-kira, dengan Cina berada di tingkat $ 228. Selisih yang kecil itu hancur dan berubah menjelang akhir abad ke-19. Jika dihitung GNP seluruh bagian bumi yang kemudian disebut "negeri-negeri maju" dan dibandingkan dengan bagian dunia selebihnya, akan tampak bagaimana Dunia Ketiga secara dramatis kalah - tapi itu semua baru terjadi belum dua abad berselang: Angka-angka Bairoch berdasarkan dolar di tahun 1960 itu berbicara banyak. Ia bisa memberi isyarat bahwa nasib bukanlah sesuatu yang tetap. Lihat saja yang terjadi setelah tahun 1880 - khususnya setelah masa "Revolusi Industri" di Barat. Teknologi diperbarui, dan mesin-mesin yang dulu tak terbayangkan tambah banyak diciptakan orang. Pada akhirnya, alat-alat itu bukan saja jadi pelontar Eropa, dimulai oleh Inggris, jauh ke atas, tapi juga jadi penghancur tiap saingan. Tak mengherankan bila mesin dengan cepat jadi pujaan mereka yang bertahta dan juga mereka yang kaya. Mesin adalah kegandrungan orang seperti Pangeran Albert, suami Ratu Victoria dari Inggris di pertengahan abad ke-19, dan jalan bagi kaum borjuis untuk menikmati berkah Tuhan dan memperbanyak duit. Di musim semi 1851, orang London mendirikan "Istana Kristal" di Hyde Park. Sebuah pameran industri besar yang pertama dalam sejarah dibuka di sana, dengan 1.000 orang menyanyikan Halleluyah karya Handel. Ratu Victoria mengaku ia merasakan peristiwa itu "mirip upacara penobatan", dan mungkin ia benar. Beberapa puluh tahun sebelumnya, seorang penemu mesin besar sezaman James Watt berkata dengan bangga kepada seorang tamu yang mampir ke bengkelnya, "Yang saya jual di sini, Tuan, adalah apa yang diinginkan seluruh dunia - kekuatan". Dan dalam bahasa Inggris, "kekuatan" atau power bisa berarti pengertian teknis, tapi bisa juga berarti kekuasaan. Soal yang belum juga selesai dibicarakan ialah kenapa justru semua itu terjadi di Inggris dan Eropa. Teknologi dan industri tak hanya berada di sana. Tapi kenapa justru orang-orang di Barat itu yang mengubah dunia dengan pelbagai mesin dahsyat? Karena mereka, seperti dongeng Faust, mau menjual roh mereka kepada setan, kata orang-orang yang suka ketimuran. Tidak, Jawab yang suka kebaratan, karena mereka itu rasional dan tak terbelenggu tradisi. Ah, jawab para ketimuran lagi, bukankah sejarah mencatat bagaimana para pengusaha pabrik itu sewenang-wenang dan serakah, dan bagaimana pengisapan terjadi di tiap sudut? Oke, oke, sahut yang pro-Barat. Tapi toh pengisapan juga terjadi di mana-mana di luar Barat, tanpa menimbulkan prestasi yang dicapai dunia Barat yang modern .... Penjelasan yang terakhir ini barangkali semacam jawaban buat orang-orang Marxis yang yakin bahwa banyak perkara di dunia modern ini bisa dijelaskan hanya dengan menyebut l'exploitation de l'homme par l'homme, sebuah kalimat Prancis yang dulu banyak disebut Bung Karno. Bagi penghafal kalimat Prancis ini (yang artinya sebenarnya hanyalah "pengisapan manusia oleh manusia"), kemajuan Barat yang kapitalistis adalah karena sebuah ketimpangan: bayaran buat tenaga buruh relatif kecil dengan harga benda yang dibuatnya. Dengan cara itu, sang majikan menikmati nilai lebih, dan ia bisa menimbun modal, mengembangkan usaha, dan seterusnya. Tak heran bila penemuan mesin, yang makin membikin buruh tak berdaya, perlu disambut dengan Halleluyah. Tapi barangkali itu juga sesuatu yang di abad ke-19 itu hanya bisa terjadi di Eropa. Sejarawan Fernand Braudel membicarakan riwayat kapitalisme dan menulis satu informasi penting tentang India. Di India abad ke-19, industri tekstil telah merupakan bisnis besar. Kualitasnya, keindahannya, dan harganya, semuanya dengan tajam menyaingi produk Inggris, Prancis, dan Belanda. Apa yang kini berkecamuk di pasaran Asia Timur waktu itu juga terjadi: barang-barang bermutu dijual murah. Soalnya, ongkos produksi rendah, dan itu karena upah buruh yang kecil. Di tahun 1736, misalnya, para direktur East India Company menghitung bahwa buruh India dibayar enam kali lebih kecil dibanding dengan yang diperoleh buruh Prancis - padahal buruh Prancis jauh lebih rendah upahnya ketimbang buruh Inggris. Maka, orang Inggris, yang membeli tekstil India dan menjualnya kembali ke negeri mereka sendiri, panen hampir tiap tahun. Buat apa para pembuat tekstil di negeri yang kemudian melahirkan Gandhi itu mencari cara baru berproduksi? Teknologi yang lebih menyingkat kerja tak dianggap perlu. Toh ada jutaan perajin ahli, dan produksi mereka diperebutkan di mana-mana. Orang sekarang akan menyatakan itu suatu "keunggulan komparatif". Tapi dengan segera kita tahu, keunggulan seperti itu tak permanen. Industri Eropa terancam. Tekstil impor dari India pun dicegah masuk. Komoditi itu hanya dibeli para saudagar Inggris untuk dijual ke negeri lain. Tak puas sebegitu, para pengusaha tekstil Inggris pun melangkah lebih jauh. Mereka meraih pasar di daratan Eropa dan Amerika pula - dan dengan demikian harus mengurangi secara drastis jumlah tenaga buruhnya yang mulai mahal. Maka, pada mulanya adalah kain katun, dan revolusi mesin di Inggris bergerak. Tapi tentu saja - seperti tiap kejadian besar dalam sejarah - tak ada penyebab yang tunggal yang melahirkannya. Yang jelas ialah bahwa pada suatu waktu, di Inggris, ada seorang bekas tukang cukur yang punya banyak akal. la lahir menjelang Natal tahun 1732, anak bungsu dari sebuah keluarga besar yang melarat. Ia tak terpelajar. Baru pada umur 50 tahun ia mulai kursus mengeja. Tapi Richard Arkwright kemudian - seraya mencuri ide orang lain - menemukan mesin pintal dan jadi kaya. Namanya harum dan Thomas Carlyle pun berseru tentang barbir buncit dan berpipi gembung ini: "Dialah orang yang memberi Inggris kekuatan kain katun. " Bahwa seorang anak dari lapisan terbawah masyarakat Inggris abad ke-18 itu bisa naik ke atas, lewat celah-celah kelas sosial yang kukuh meskipun tak ketat, mungkin menunjukkan satu hal. Arkwright dan sejenisnya memiliki sesuatu yang waktu itu balu terbatas di Inggris: kemerdekaan. Goenawan Mohamad