Iklan
ADA Pariyem, tokoh yang ditampilkan Linus Suryadi dalam sajak panjangnya tentang wanita Jawa dari dusun yang pasrah. Ada Sumarah, istri seorang tahanan politik yang menjadi tukang pijit dalam cerita Umar Kayam. Ada Midah, anak kiai yang jadi pengamen dengan gigi emas, dalam novel Pramudya Ananta Toer. Tapi lebih dulu dari semua itu, ada Yah. Armijn Pane telah menciptakan dalam Belenggu, novel yang kontroversial itu hampir setengah abad yang silam. "Lakon diriku tiada bedanya dengan lakon perempuan lain," kata wanita "jalanan" itu kepada kekasihnya, seakan hendak membenamkan penderitaannya dalam penderitaan ribuan mereka yang senasib. "Tanyakan perempuan di Priok, ganti namanya dengan Yah . . . riwayatnya sama saja. Apakah perlunya lagi kuceritakan?" Dia memang seperti mereka - dengan beda. Ia bermula dari keluarga baik-baik. Dulu ia bertetangga dan bersekolah dengan laki-laki yang kemudian jadi pacarnya, dr. Sukartono. Lalu, pada suatu hari, ia harus kawin dengan seorang yang 20 tahun lebih tua, dan hidup di Palembang. Tak tahan, Yah lari ke Betawi pulang ke Bandung. Setelah berpindah-pindah, Yah hidup dengan kemenangan-kemenangan yang memabukkan. "Tono, aku benar jahat. Di dalam hatiku tertawa sebagai setan tertawa, kalau ada lakilaki terpikat olehku. Kalau dia merendahkan diri tidur dengan aku, aku senang, aku gembira karena dia tertarik ke lumpur tempat aku hidup." Tapi kemudian dia dengar, di Betawi itu, anak muda tetangganya, Sukartono, telah jadi dokter. Suatu keinginan lain tiba-tiba menyingsing: Ia ingin bersua dengan Tono, "Dengan zaman dahulu, zaman aku masih gadis, masih putih bersih...." Yah pun berpura-pura sakit, menyebut diri Ny. Eni, memanggil dokter yang tak pernah menolak datang itu, dan pertemuan terjadi. Lalu mereka saling jatuh cinta: Tono, yang dalam krisis perkawinan, dan Yah, yang mencoba mendapatkan sesuatu yang tak kena geluh dalam riwayatnya yang kusam. Dipaparkan di sebuah buku yang terbit di tahun 1940 - ketika kesusastraan Indonesia seakan-akan hanya mengenal dunia yang necis dan sopan - tokoh Yah, mau tak mau mengejutkan. Belenggu, yang memang bukan novel yang mudah untuk dibaca, dan ditulis dengan gaya Armijn Pane yang kadang simpang-siur, akhirnya )adi klsah yang banyak disalahpahami. Tapi toh Armijn berhasil, dengan berani, menjadi penulis Indonesia pertama yang menyatakan simpatinya yang terus terang kepada sang pelacur. Tokoh Yah, terutama di ujung novel ini, bahkan mengharukan, menyentuh, tanpa jadi melodramatis. Pada akhirnya Yah meninggalkan Tono, yang sebenarnya sudah berpisah dengan istrinya dan beranjak untuk datang kepadanya. Wanita itu berangkat ke Nieuw Caledonie. Tapi di kapal, masih didengarnya suara Tono dalam satu pidato radio. Tangannya pun dijulurkannya, seakan hendak memeluk laki-laki itu. Lalu ia melangkah ke dek, memasuki gang, yang bertambah sempit, bertambah rendah, "sebagai jalan yang ditempuh oleh manusia yang melarat, semakin lama semakin sengsara". Dan ketika ia sampai ke sebuah pintu, tempat suara Tono datang, wanita itu berdiri. Pintu ke manakah itu? Pertanyaan itu ternyata tak terjawab, ketika Belenggu selesai. Mungkin Yah adalah sebuah fenomena ketidakbebasan wanita. Kaum feminis zaman kini bisa bicara banyak tentang dia: seorang yang dihisap ke dalam prostitusi, perempuan yang, dengan senang hati, melepaskan sepatu sang pria yang lelah. Tapi kenapa Sukartono, pria terpelajar dari kelas atas kota besar itu, bisa jatuh hati kepadanya? Kita bisa beri jawaban klise: sang dokter tak berbahagia dalam perkawinannya. Hanya kali ini soalnya terletak pada Tini yang "maju". Sukartono tak dilukiskan Armijn sebagai seorang Jawa yang berpaham lama - ia memainkan Beethoven pada biola dan mencoba menganjurkan kerancong untuk musik baru - tapi ia ternyata bukan suami untuk Tini. Tini, yang dengan air mata titik bicara tentang nasib perempuan yang seperti "jembatan gantung" (yang diam saja bila dipijak-pijak), menolak hidup sebagai istri bila itu berarti pengabdian. Karena itu, ia tak berbahagia. Perkawinannya dengan Tono, baginya, sebuah kekalahan. "Apa lagi kehendakmu?" tanyanya dengan garang kepada suaminya, di suatu saat. "Aku sudah menjadi istrimu. Namaku sudah hilang, aku sudah tunduk." Dengan sikap seperti itu, tak heran bila peran "istri" adalah peran yang tak menarik. Mungkin memang demikian. Mungkin wanita memang harus bebas sebagai sekadar embel-embel, dan dalam keadaan tertindas harus berteriak cukup keras. Di Amerika Serikat - sekitar seabad setelah Kartini itulah yang belakangan jadi sesuatu yang ramai. Tapi akhirnya toh orang harus bertanya, di manakah hal-hal kekal, seperti cinta misalnya, di tengah pergumulan seperti itu. Menonton film seperti Terms of Endearment kita tahu bahwa soal jawab itu belum selesai: film itu justru menyentuh kita, karena hidup ternyata bisa lebih bertahan melalui kesedihan, karena ada suatu hal yang sukar dan kuno tapi kukuh: sesuatu yang mungkin disebut naluri, mungkin cinta, mungkin kenaifan. Dan itulah yang tak ada pada Tini yang progresif dan garang. Dan itulah yang ada pada Yah - meskipun harus ia tanggalkan. Goenawan Mohamad