Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tim

Oleh

image-gnews
Iklan
RENDRA membaca sajak, dan orang datang mendengarkannya. Apa sebenarnya sebuah sajak untuk Anda, apa arti puisi? Sebuah pernyataan politik? Sebuah pertunjukan? Sebuah kejadian aneh, semacam tontonan tukang sulap ketika kita kecil? Ada seorang penata tari yang menciptakan sebuah tarian bernama Cabang Musim Gugur. Koreografi itu dipertunjukkannya ke banyak kota di dunia. Yang menarik ialah tafsiran para penontonnya. Di Swedia mereka mengatakan bahwa di pentas itu tengah disajikan sebuah kisah kerusuhan rasial. Di Jerman orang menyangka lain lagi: sebuah lukisan tentang sebuah kamp konsentrasi. Di London: kota-kota yang dihujani bom. Di Tokyo: kehancuran Hiroshima. "Tentu," kata penari itu tentang pelbagai tafsiran yang berbeda-beda itu. "tarian itu mengenai semua hal yang dikatakan tadi dan tak mengenai satu pun dari hal-hal itu. Saya tak pernah mengalami apa yang mereka alami, dan tiap orang menarik kesimpulan dari pengalamannya sendiri. Yang saya bikin hanya sekadar sebuah tarian, yang bercerita tentang tubuh-tubuh yang jatuh." Rendra membaca sajak, dan orang menemukan di dalamnya pengalaman masing-masing yang sering tak kita ketahui. Ada yang datang untuk mendengarkan sebuah statemen yang menggemparkan - tanpa peduli apakah statemen yang menggemparkan itu statemen yang benar. Ada pula yang datang karena keinginan yang lumrah: mengalami sesuatu yang terlarang atau setengah terlarang. Kita toh tahu, meskipun sering lupa, salah satu cara terbaik membuat seorang penyair jadi hal yang dicari-cari ialah dengan membuatnya tabu. Tapi mungkin ada juga yang datang bukan untuk melihat Rendra. Bukan untuk menyaksikan sebuah tontonan yang mudah-mudahan seru dan kemudian harus disetop. Bukan untuk sebuah peristiwa politik, atau sebuah penghormatan bagi seorang pemberani. Mungkin ada yang datang karena ini sebuah pembacaan sajak yang bagus dengan kata lain, untuk mendengarkan puisi itu sendiri. Kita memang jarang bertanya, apa sebenarnya sebuah sajak untuk diri kita, apa arti puisi. Tak mudah memang buat menjawabnya. Tapi saya pernah mendengarkan orang membaca petilan-petilan Gitanjali karya Rabindranath Tagore, dan sajak kerinduan Amir Hamzah pada Tuhan, dan puisi Chairil Anwar yang dimulai dengan kalimat termasyhur itu: "Cemara menderai sampai jauh/Kurasa bari jadi akan malam...." Saya tak tahu, masih adakah sekarang orang yang gemar mendengarkan itu lagi, dan mencoba mengulanginya sendiri diam-diam. Bila tidak ada, betapa rugi. Sebab, mereka tak akan pernah mengalami sebuah dunia pengalaman yang menggetarkan - yang mungkin tak akan membuat kita jadi lebih pintar atau hebat, tapi yang bisa mengukuhkan ikatan batin kita kembali dengan hidup. Puisi bukanlah rangkaian kata-kata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi adalah persentuhan, antara kita dan dunia di luar, antara kita dan kegaiban yang besar, antara kita dan kita sebuah kontak yang, dalam kata-kata seorang penyair, "sederhana, seperti nyanyi." Seorang tokoh sastra Rusia awal abad ini - sebelum realisme-sosialis membungkamnya - mengatakan sesuatu yang saya kira penting tentang puisi. Lebih luas lagi, tentang kesenian. Seni, katanya, mengatasi efek yang mematikan, yang timbul ketika kita hanya merambat dari satu kebiasaan ke kebiasaan lain. "Kebiasaan," kata orang Rusia itu, Victor Shklovsky, "mengganyang obyek-obyek, perabot-perabot, istri kita, dan rasa takut kita akan perang." Senilah yang membantu menghidupkan perasaan kita yang telah terganyang. Ia melawan kebiasaan. Tak heran, bila dari sini datang hal-hal yang aneh, hal-hal yang baru. Tak heran, bila dari kalangan ini - seperti halnya dari Taman Ismail Marzuki - muncul banyak perkara yang tak selamanya mudah dipahami orang banyak. Memang, para seniman tak jarang tampak hanya mau aneh, mau baru, mau kontroversial, dengan ego yang menggelembung mirip punuk planetarium. Tapi yang aneh-aneh itu hanyalah satu babakan, dari suatu proses. Proses itu bisa menghasilkan hal-hal yang menakjubkan. Mari kita ingat apa yang pernah bangun dari Taman Ismail Marzuki. Di sana Rendra memainkan karya-karya klasik Yunani kuno dalam seni peran Indonesia yang tak kalah indahnya dengan yang disaksikan orang di New York. Dari sana Arifin C. Noer menuliskan cerita sandiwaranya, yang dipentaskan orang sampai ke Stockholm. Dan di TIM itu pula Sardono W. Kusumo merintis koreografinya, Dongeng Dari Dirah, yang di Paris disambut para kritikus dari puji ke puji. Kini semua itu tentu sudah tak ada lagi. Teater Indonesia, puisi pada umumnya, memang tak pernah dipelihara para pengusaha dan pejabat seperti halnya sepak bola yang kalah melulu itu. Teater dan puisi sebuah bangsa bisa menyebabkan bangsa itu dikenang lebih horrnat dan lebih lama - tapi ia butuh syarat. Syarat itu ialah kemerdekaan. Saya tak yakin adakah kita benar bisa menyediakannya. Goenawan Mohamad.
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

2 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

43 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

48 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

49 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.