Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Snouck

Oleh

image-gnews
Iklan
SEORANG penyair Turki abad ke-19, Namik Kemal, menuliskan pujaannya kepada tanah air dengan sebuah kalimat yang mungkin tak akan berulang dalam sejarah. Di Tanah Usmani inilah, tulis Kemal, Kristus dilahirkan dan diangkat ke surga, cahaya Tuhan turun ke Musa, bahtera Nuh berlabuh dan "dari nyanyi Daud sampai dengan lenguh Sokrates, akal dan agama saling menjaga." Sajak Kemal berakhir dengan seruan: Ulurkan tanganmu, o, tanah airku, ke kebun sang Nabi/ Gosokkan tubuhmu, hitam, di Kaabah suci. Bagi Namik Kemal dan orang-orang sezamannya, ketika Imperium lsmani, yang disebut orang Barat sebagai "Ottoman", masih membentang luas dari pucuk Afrika sampai ke pinggir Eropa, pengertian tentang "tanah air" memang penuh dengan tanda tanya yang resah. "Kita membayangkan," tulisnya di tahun 1873, "bahwa perbedaan ras serta agama di antara orang-orang senegeri kita akan membawa keambrukan total negeri ini." Tapi Kemal memberi jaian keluar. Seperti tersirat di akhir sajaknya, Imperium Usmani bisa berpadu dengan mengambil warna Islam, dari "kebun sang Nabi". Apakah yang dikehendaki Namik Kemal: keunggulan negeri di bawah Kesultanan Usmani atau persatuan Islam? Di masa itu, perbedaan antara kedua hal itu tampaknya memang belum mendapat bentuknya yang persis. Yang terasa dengan intens adalah konfrontasi - bukan cuma dalam ide-ide, tapi juga dalam bentuk perang perebutan wilayah - antara kekuasaan "Kristen" dari Eropa dan kerajaan-kerajaan orang Islam di Asia dan Afrika. Yang jadi kemasygulan, juga, ialah rasa mandek dan tak berdaya bagi pihak yang terakhir. Sementara itu, yang bisa diandalkan, secara fisik, hanyalah Kesultanan Usmani vang menjulang bagaikan mercu suar. Tentu saja harus dicatat: kesultanan itu sebenarnya suatu tampuk yang goyah dari luar dan dalam. meskipun kemilaunya masih tampak dari seberang Selat Bosporus. Di bawah Sultan Abdul Hamid II, yang memerintah menjelang pembuka abad ke-20, semangat "Pan-Islamisme" pun dihantarkan ke mana-mana, termasuk ke Jepang. Kemenangan Sultan dalam perang dengan Yunani di tahun 1897, meskipun sebenarnya cuma sebuah konflik setempat, dapat sambutan umat Islam di banyak penjuru. Dan pada gilirannya mereka sendiri bangkit melawan kekuasaan Barat yang menjajah ditanah mereka. Tak heran (meskipun agak menggelikan) bila di masa itu di koloninya di Timur orang Belanda juga cemas. "Persoalan Islam" menjadi persoalan pokok untuk Hindia Belanda - yang sebagian besar rakyatnya memang Muslim dan memang berkali-kali angkat senjata. Untuk menjawab "persoalan" itulah kemudian datang Snouck Hurgronje. Yang menarik ialah bahwa val1g ia takuti bukan umat Islam di Indonesia an sicth, melainkan umat itu dan hubungannya dengan "Pan-Islamisme". Di tahun 1911 terbit bukunya, Nederland en de Islam. Di sana ia menawarkan sesuatu yang dianggapnya merupakan alternatlf, bahkan suatu tandingan, bagi "pan-Islamisme", yakni penyatuan antara rakyat Muslim di Timur itu dan rakyat Sri Ratu di Barat. Kelak, tulisnya, "Hanya akan ada Nederland Timur dan Barat, yang secara politik dan kebangsaan membentuk suatu kesatuan, tanpa peduli perbedaan mereka dalam ras." Snouck percaya, Islam dan agama Kristen dalam "kehidupan nasional yang praktis akan dapat saling menenggang, selama ide 'Pan-Islamisme' disisihkan". Yang tak diduga Snouck di tahun 1911 itu ialah bahwa "Pan-Islamisme" terbenam justru oleh suatu semangat kebangsaan yang lain. Kesultanan Usmani sendiri berhenti jadi pegangan dan harapan: Sultan Abdul Hamid II, otokrat vang penuh kuasa dan juga kesepian di Istana Yildiz, membungkam Namik Kemal sebelum mati. Sang penguasa, dengan membawa nama Islam, tak segan-segan menyingkirkan seorang cendekiawan, yang mengiginkan kemerdekaan, juga atas nama Islam. Di Mesir yang dulu termasuk wilayah Usmani orang pun akhirnya membangkang mereka meneriakkan seruan "Mesir buat orang Mesir" - suatu imbauan persamaan bangsa, bukan persamaan agama. Dan di Indonesia, gerakan Islam pun jumbuh dengan gerakan nasionalis tanpa bendera hijau berbulan bintang, dan Sarekat Islam surut untuk digantikan dengan yang lain. Snouck jelas kecele - juga Namik Kernal. Sejarah politik akhirnya gagal menampakkan satuan-satuan besar. Hanya variasi-variasi kecil, karena, untuk bergabung jadi satu, manusia memerlukan banyak hal yang tak selamanya mudah. Kita memerlukan persamaan nasib yang terus-menerus tapi sejarah dengan sedih mengatakan: itu mustahil. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.