Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Amerika

Oleh

image-gnews
Iklan
DI hari kematiannya, Woodrow Wilson mendengar suara. "Pulang," kata suara itu, "ini sebuah akhir, sebuah tujuan. Bukan yang pernah dikejar untuk didapatkan, tapi tidakkah lebih baik?" Wilson meninggal, presiden Amerika Serikat yang sakit-sakitan dan mengundurkan diri itu. Ia pergi dengan kekecewaan besar. Penyair Robinson Jeffers menulis sebuah sajak tentang momen itu, dengan dialog imajiner itu: bekas presiden itu terbaring, dan harapan-harapannya, agar dunia lebih baik dan lebih damai, berantakan. la memang aneh, seorang presiden Amerika yang aneh, di abad ke-20. Ia bicara tentang perlunya "perdamaian, tanpa kemenangangan". Ia menolak untuk menggunakan kekuatan fisik Amerika terhadap negeri-negeri yang lebih lemah Bahkan ketika kapal Inggris Lusitania tenggelam ditorpedo Jerman, dan ada 12 penumpang Amerika tenggelam Wilson tetap belum meneriakkan pekik pertempuran. "Memang ada dalam hidup ini sebuah bangsa yang teramat sadar akan harga dirinya untuk mau berkelahi," katanya. Lawan politiknya menuduhnya sebagai peragu dan takut-takut. Pengagumnya mendengarkan. Suaranya suara seorang Yudhistira: orang yang bicara tentang kebersihan dan perdamaian biarpun di ambang perang. Ia barangkali memang kuno, tak tepat, dan celaka dalam sebuah zaman yang lebih suka gagah-gagahan. Ia akan diketawakan oleh Rambo. Ronald Reagan mungkin akan geleng-geleng kepala tak bisa memahaminya. Suara tak bernama dalam sajak Robinson Jeffers, Woodrow Wilson, juga seperti mencemoohnya - atau meletakkannya dengan lugas ke dalam dunia yang keras: "Kemenangan, kau tahu/memerlukan kekuatan untuk mempertahankan kemenangan, beban itu tak akan pernah jadi ringan ..." Kemenangan, kekuatan: mungkin itulah sebabnya Ronald Reagan menggebuk sebuah pulau kecil bernama Grenada. Mungkin itulah sebabnya ia mengirim mata-mata, senjata, dan juga ranjau ke sebuah negeri kecil lain bernama Nikaragua - kalau perlu sembari berkacak pinggang di depan Mahkamah Internasional yang ompong. Seperti pekan lalu, ketika ia mengirim sejumlah pesawat Tomcat untuk menodong sebuah Boeing 737 Mesir, yang memuat sejumlah orang yang didakwa sebagai pembajak. Bayangkan, apa jadinya bila pesawat sipil Mesir itu menolak untuk turun seperti diperintahkan: dua pesawat tempur Amerika, dengan senjatanya yang mengkilat lengkap, mungkin sekali akan menghancurkannya berkeping-keping. Tanpa balas. Dan kita belum tahu adakah para penumpangnya bersalah atau tidak. Dan kita tidak tahu apa yang akan dilakukan Mesir, negeri miskin itu. "Visionless men, blind hearts, blind mouths, live still," Wilson mengeluh dalam sajak Robinson Jeffers. Tapi bila orang-orang tanpa visi, bila hati yang buta dan mulut yang picak Itu masih terus hadir, apa yang bisa dilakukan? Rakyat Amerika bertepuk sorak, jingoisme dan kepala panas memenangkan suara - persis seperti yang dialami Wilson sendiri di hari-hari menjelang 2 April 1917. Di hari itu, Wilson akhirnya menyatakan perang kepada Jerman. Api dan asap khalayak ramai yang marah akhirnya mendesaknya untuk bertindak. Dan sejak itu Amerika pun merasakan manisnya kemenangan, dan perlunya kekuatan - seorang jago sehabis mencicipi kemasyhurannya yang pertama. Wilson, tentu saja, bukan jago. Ia tak cocok untuk potongan itu. Sehabis kemenangan, ia malah menyerukan rekonsiliasi. Suaranya sebenarnya berbicara seperti seorang filosof Jawa pernah bicara: ia ingin menang tanpa ngasorake, memang tanpa menghinakan pihak yang kalah. Itulah sebabnya semboyannya berseru, "perdamaian, tanpa kemenangan". Tapi suaranya memang aneh dan ia sia-sia. Sebab, dendam dan ketakutan kepada Jerman dengan segera, setelah yang terakhir ini kalah, menyebabkan negeri Eropa yang menang mencoba sebaik mungkin menginjak-injak. Keserakahan dan kompromi juga berperan Jepang mulai masuk ke Cina, dan bangsa-bangsa yang terjajah tetap tak dimerdeka-kan oleh kolonialis mereka. Empat belas Pasal Wilson yang terkenal itu akhirnya hanya sebuah risalah yang bagus tapi bangkrut - suatu bukti bahwa sejarah selalu tidak bisa teramat sabar dengan ide-ide yang luhur. Entah di mana, selalu bersembunyi pengkhianatan. Seperti kata sang suara dalam sajak Robinson Jeffers lagi, "Ada begitu banyak pengkhianatan, dan orang Rusia dan orang Jerman tahu. " Tidak mengherankan bila Woodrow Wilson mati kecewa. Tak mengherankan pula bila banyak orang - tak cuma orang Jerman dan Rusia - tahu dan kecewa: dunia tak punya lagi sebuah negeri, tak ada lagi seorang pemimpin, tempat orang mendengarkan suara yang lebih berharga ketimbang cuma pekik kemenangan dan kekuatan. Tarzan menginjakkan kakinya lalu melolong di atas korban, dan itu adalah isyarat ketidaktenteraman sebuah rimba. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Presiden Bertemu Panglima Amerika

13 Februari 2007

Presiden Bertemu Panglima Amerika

Presiden Yudhoyono menerima kunjungan Panglima Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Jenderal Peter Pace dan rombongan hari ini sekitar pukul 11.00 WIB di Kantor Kepresidenan Jakarta.


Menteri Agama: Muliakan Bush Sebagai Tamu

11 November 2006

Menteri Agama: Muliakan Bush Sebagai Tamu

Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni, mengingatkan umat Islam agar memuliakan Presiden Amerika George Walter Bush saat kedatangannya pada 20 November mendatang di Istana Bogor dalam kapasitas Bush sebagai tamu.


Indonesia – Amerika Tidak Akan Tingkatkan Kerja Sama Militer

7 November 2006

Indonesia – Amerika Tidak Akan Tingkatkan Kerja Sama Militer

Pemerintah Indonesia tidak akan meningkatkan kerjasama militer yang selama ini telah dijalin dengan pemerintah Amerika Serikat ke tingkat yang lebih tinggi.


Menteri Pertahanan AS ke Indonesia 6 Juni

27 Mei 2006

Menteri Pertahanan AS ke Indonesia 6 Juni

Bulan depan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Donald Rumsfeld dijadwalkan bertemu Menteri Pertahanan Indonesia Juwono Sudarsono.


Pemerintah Pertanyakan Dana Flu Burung AS

14 Maret 2006

Pemerintah Pertanyakan Dana Flu Burung AS

Pemerintah mempertanyakan janji Amerika Serikat (AS) yang akan memberikan bantuan dana US$ 3,1 juta kepada Indonesia untuk mengatasi flu burung.


MMI Curigai Kunjungan Rice Bahas Ba'asyir

12 Maret 2006

MMI Curigai Kunjungan Rice Bahas Ba'asyir

Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) mencurigai kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice akan bahas penahanan Abu Bakar Ba'asyir.


Rice Akan Kunjungi Sekolah Islam

12 Maret 2006

Rice Akan Kunjungi Sekolah Islam

Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice dalam kunjungan ke Indonesia selama dua hari, 14-15 Maret, direncanakan mengunjungi satu islamic boarding school.


Senator Russ Feingold Bertemu Presiden

24 Februari 2006

Senator Russ Feingold Bertemu Presiden

Senator asal Amerika Serikat, Russ Feingold, mempertanyakan keamanan rakyat Papua dari ancaman kekerasan militer.


Tidak Ada Kecenderungan Penutupan Kedutaan AS

20 Februari 2006

Tidak Ada Kecenderungan Penutupan Kedutaan AS

Departemen Luar Negeri menegaskan penyerbuan ke Kedutaan Besar Amerikat Serikat kemarin oleh masa Front Pembela Islam (FPI) tidak akan mengganggu hubungan Indonesia-Amerika.


Washington Tunggu Proses Hukum Anthonius Wamang

13 Januari 2006

Washington Tunggu Proses Hukum Anthonius Wamang

Pemerintah Amerika Serikat menganggap penyelesaian kasus penembakan di Timika, Papua, 31 Agustus 2002, tetap menjadi prioritas mereka.