Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Meloncat

Oleh

image-gnews
Iklan
CINA harus setingkat Inggris, dalam waktu 15 tahun. Negeri petani itu harus jadi negeri industri, sccara cepat. Sebuah "loncatan besar ke depan" harus diayun .... Mao Zedong, dengan mulut tipis seorang tukang sulap raksasa, mengucapkan itu pada bulan Januari 1958. Lalu seluruh Cina pun bergerak. Sejarah sedang disusun dengan gemuruhnya - sampai suatu ketika orang tersadar bahwa manusia memang tak boleh melecut musim. Sayangnya, kesadaran itu, di Cina waktu itu, terlambat. "Loncatan besar ke depan" Mao adalah loncatan yang akhirnya menabrak dinding Tiongkok, kenyataan yang tua itu. Akibatnya hampir luluh lantak. Seorang ahli baru-baru ini, setelah menghitung cacah jiwa periode 1958 sampai beberapa tahun sesudahnya, memperkirakan 27 juta orang tewas akibat "loncatan besar" itu. Tentu saja tak sekaligus hanya karena pengerahan tenaga massa yang menakjubkan itu. Mungkin pula penghitungan sang ahli meleset. Tapi banyak kesaksian dari masa di akhir tahun 50-an itu berkisah tentang gelombang manusia yang besar dan benturan kesakitan yang panjang. Di tempat-tempat bendungan dibangun, rakyat dihimpunkan seperti onggokan semut. "Barisan tanpa henti laki-laki dan wanita berpakaian biru memenuhi lereng-lereng gunung, bagaikan sebuah arus sungai aneh yang sedang menukar arahnya," demikian tulis seorang Eropa yang berkunjung ke Cina, awal 1958 itu. Sebuah bangsa, sebuah gergasi dari dongeng laiknya, memang tengah bangkit. Ia hendak mengubah total wajah bumi. Komune-komune didirikan. Karena hampir setiap jiwa dikerahkan untuk bekerja di bangunan-bangunan, para petani tak sempat mengolah sawah. Mao pun menggerakkan kader-kader partai buat mendatangkan pekerja kantoran, buruh pabrik, pelajar, mahasiswa, dan lain-lain penduduk kota yang sesak. Mereka diangkut ke daerah pertanian. Bekerja, bekerja, bekerja. Tambur dipalu, kencrengan diadu, serunai ditiup, rakyat dibariskan dalam jumlah berjuta-juta dengan langgam militer, ke sawah, ke bendungan. Para pemimpin partai di tingkat lokal berlomba mencapai target atau kuota. Ada kuota berapa ratus orang harus dimobilisasikan, berapa ribu lalat harus dibunuh, berapa buah generator harus dibikin. Siapa yang enggan, yang tampak ragu akan semangat besar yang ditiupkan Mao, dipanggil ke mahkamah rakyat. Mereka diadili, dan tentu saja hampir tak ada yang tak ditemukan kesalahannya. Langkah yang besar, dengan kemungkinan salah yang besar pula. Suatu harl, Mao memerintahkan agar rakyat membangun "tanur pekarangan". Dalam program ini, jutaan manusia harus menghasilkan besi dan baja dalam tungku-tungku yang didirikan di desa, pabrik, halaman sekolah, di mana saja ada tempat luang. "Negara tanpa baja adalah ibarat orang tanpa tulang," demikian diserukan. Seorang saksi mata yang mengalami sendiri masa itu di Tsinan, ibu kota Shantung, kemudian bercerita kepada Wartawan Stanley Kanow dalam bukunya Mao and China: "Kereta api, truk, bahkan kereta dorong dikerahkan untuk mengangkut bata, batu bara, dan bijih besi dalam rangka gerakan ini. Istri saya dan wanita lain ditugasi memecahkan batu bara dan besi dengan palu logam, dan bekerja 12 jam sehari." Bahkan petani pun dikerahkan bekerja untuk tungku seperti itu, dengan akibat mereka tak punya waktu memperbaiki tanggul irigasi di desa-desa. Akibat lain ialah bahwa bahan besi habis. Tapi demi kuota, para anggota komite partai pun memasuki rumah penduduk, menyita panel, kuali, pagar besi, kunci pintu, dan lain-lain. Rakyat, demi industrialisasi kehilangan alat-alat dapur mereka. Punah. Dan apa hasilnya? Gerakan "tanur pekarangan" tetap tak menghasilkan logam yang berarti. Mobilisasi petani tak menyebabkan sawah dan pengairan terawat. Hutan-hutan gundul dibabat, kayunya untuk tungku, dan pertanian terkoyak luka. "Loncatan Besar ke Depan" itu akhirnya berakhir dengan kelaparan besar. Mao gagal. Ia kemudian disalahkan, antara lain oleh pemimpin partai, seperti Liu dan Deng - yang menyebabkan Mao sakit hati dan kelak membalas dengan dahsyat. Sebab, bagi Mao, impian adalah sah. "Tak ada salahnya menjangkau kebesaran dan sukses," katanya di awal 1958. "Tak ada salahnya merindukan hasil cepat dan keuntungan seketika ...." Dalam hal ini, ia ternyata juga tak luput dari "sindrom Dunia Ketiga". Syah Iran, dengan kepongahan petrodollar, hendak membeli industrialisasi kilat. Mao, dengan ketakaburan mobilisasi rakyat, hendak langsung ke "kemajuan". Keduanya bisa dimaklumi, meskipun keduanya ternyata salah: keliru memilih saat, khilaf memilih kecepatan. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

39 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

44 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

44 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.