Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Baur dan Bandar

Oleh

image-gnews
Iklan
15 Oktober l826, pasukan Dipanegara terpukul hebat di Desa Gowoh, dekat Surakarta. Perang besar di sekitar Yogya itu memang masih empat tahun lagi bisa reda, tapi bagi Dipanegara sendiri kekalahan di Gowok oleh pasukan kompeni itu tak terlupakan sampai mati. Setidaknya, dalam autobiografi yang ia tulis di pengasingan, yang kemudian disebut Serat Babad Dipanegara, ia sebut kembali peristiwa itu. Yang menarik ialah keterangan Dipanegara sendiri kenapa ia sampai terpukul. Dalam beberapa kalimat yang disunting dalam tembang Sinom, sang Pangeran berkata bahwa malam sebelum pertempuran itu ia telah jatuh hati pada seorang wanita Cina yang dipekerjakan sebagai pemijat dan pelipur hati. Penjelasan yang sama juga ia berikan tentang kekalahan iparnya, Raden Tumenggung Sastradilaga. Bangsawan ini mencoba mempertahankan Lasem pada 1827-1828. Tapi ia pun kalah. Menurut Dipanegara, Sastradilaga kalah karena telah melupakan sebuah pantangan: bangsawan itu ternyata menjamah wanita Cina, "anjamahi Nyonyah Cina". Itulah yang menyebabkan perangnya jadi sial, "marganeki apes juritira". Tapi salahkah Sastradilaga? Mungkin tidak. Seorang sejarawan dari Trinity College, Oxford, baru-baru ini menulis untuk majalah Indonesia edisi April 1984 terbitan Universitas Cornell, sebuah makalah yang sangat menarik tentang hubungan orang keturunan Cina dan orang Jawa pada abad ke-19. Peter Carey, sejarawan itu, menyebut bahwa di Lasem, khususnya, sejumlah peranakan Cina memang ikut bahu-membahu dengan para pemberontak. Banyak juga yang beragama Islam, dan ikut dibasmi oleh kompeni setelah pemberontakan Dipanegara kalah. Sastradilaga tentu berhubungan dekat dengan mereka. Dipanegara sendiri mengakui, yang menyebabkan Sastradilaga terlupa akan pantangan yang dikeluarkannya kepada seluruh bawahan - agar tak menjamah tubuh wanita keturunan Cina - ialah karena dekatnya hubungan itu. "Cina ing Lasem sedaya," tulis Dipanegara, "mapan sampun sumeja manjing Agami." Semua peranakan Cina di Lasem sudah bersedia masuk agama Islam. Malang, Sastradilaga kalah dalam perang. Tentu saja bukan cuma perempuan Hoakiau itu yang jadi sebab. Tapi bahwa Pangeran Dipanegara menafsirkan pangkal sialnya secara demikian, menunjukkan satu hal: di Jawa, menjelang dan setelah pembcrontakan Dipanegara yang dahsyat itu, hubungan antara para keturunan Cina dan orang Jawa telah sangat buruk - yang akhirnya menimbulkan komplikasi sampai ke generasi-generasi kini. Namun, keadaan tak selamanya begitu. Sejarawan Peter Carey menunjukkan, lewat penelitian yang cukup kaya, bahwa hubungan buruk itu sebenarnya merupakan perkembangan baru. Apa yang disebut kini sebagai "pembauran" bahkan telah terjadi hampir seratus tahun sebelum Perang Dipanegara. Kalau tak percaya, bacalah kenang-kenangan Ong Tae-hae, misalnya. Ong Tae-hae adalah seorang pengelana Cina yang datang dari Fukien. Ia hidup di Indonesia tahun 1783-1791. Sebagian terlama tinggal di Pekalongan, bekerja sebagai guru. Pada tahun 1791 buku tentang pengalamannya di negeri ini diterbitkan di Provinsi Fukien. Tahun 1849 buku itu diterjemahkan ke bahasa Inggris. Dalam kisahnya itu, Ong Tae-hae menyebut - dengan sikap menyesali - bagaimana orang-orang Cina yang telah hidup di Jawa itu: "Sering kali memutuskan diri dari ajaran para bijaksana." Artinya: "Dalam hal bahasa, makanan dan pakaian, mereka meniru kaum pribumi, serta mempelajari buku asing." Bahkan, "mereka, tanpa risau, menjadi orang Jawa", "menolak makan babi" dan "memungut adat istiadat bumiputra" Ong benar. Beberapa tokoh dengan atau tanpa nama memang bisa disebut. Di Betawi, "Kapitan Peranakan" yang terakhir, yang meninggal 1827, bernama Muhammad Japar. Di Mataram, nama lama Tumenggung Mertaguna adalah Cik Go Ing. Ia diangkat Sultan Agung karena jasanya dalam penaklukan Surabaya pada tahun 1625. Di Kediri, waktu perlawanan Trunajaya pada tahun 1680, tercatat seorang panglima keturunan Cina ikut mempertahankan kota dari kepungan Admiral Anthonio Hurdt. Tapi kenapa perkembangan jadi begitu rupa, dan hubungan baik jadi buruk, sejarah mencatat perkembangan yang panjang, meskipun dengan data yang masih terbatas. Dalam karya Carey, suatu institusi dalam sejarah Jawa abad ke-19 yang paling dibenci rakyat ialah bandar: gerbang toll di jalan dan jembatan, yang memungut bayaran dari petani, bakul, buruh, dan siapa saja yang lewat. Adapun bandar itu dikelola oleh orang-orang Cina - yang nanti, pada gilirannya, harus menyerahkan sejumlah besar uang "sewa kekuasaan" itu kepada para sultan di keraton. Tak heran bila sebuah tim yang dibentuk Gubernur Jenderal pada tahun 1824 menganjurkan agar bandar-bandar itu dihapuskan. Laporan tim itu bahkan seakan menujum dengan seram: " . . . Bila bandar itu dibiarkan terus, tak akan lama tiba saatnya orang Jawa akan bangkit dengan cara yang dahsyat." Pada tahun 1825, pemberontakan Dipanegara yang didukung luas meletus. Gubernemen telah terlambat. Akibatnya tak habis sampai seratus tahun lebih kemudian. Kita pun kini hanya berharap bahwa sisa soal abad ke-19 itu akan terkikis - dan tentu saja tak mungkin dalam satu generasi. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

3 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Kisah Pencak Silat Merpati Putih, Bela Diri Keluarga Keraton yang Dibuka ke Masyarakat Umum

22 hari lalu

Logo perguruan pencak silat Merpati Putih. wikipedia
Kisah Pencak Silat Merpati Putih, Bela Diri Keluarga Keraton yang Dibuka ke Masyarakat Umum

Sejumlah teknik dan jurus pencak silat awalnya eksklusif dan hanya dipelajari keluarga bangsawan. Namun telah berubah dan lebih inklusif.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

44 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


Nyepi Di Candi Prambanan, Polisi Berkuda Patroli dan Tiga Akses Masuk Dijaga Bregada

44 hari lalu

Prajurit Bregada berjaga saat Nyepi di Candi Prambanan Yogyakarta Senin, 11 Maret 2023. Tempo/Pribadi Wicaksono
Nyepi Di Candi Prambanan, Polisi Berkuda Patroli dan Tiga Akses Masuk Dijaga Bregada

Kawasan Candi Prambanan Yogyakarta tampak ditutup dari kunjungan wisata pada perayaan Hari Raya Nyepi 1946, Senin 11 Maret 2024.


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

49 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

49 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Sultan HB X Beri Pesan Untuk Capres Pasca-Coblosan: Semua Perbedaan dan Gesekan Juga Harus Selesai

14 Februari 2024

Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat deklarasi damai Pemilu 2024 di Yogyakarta. Tempo/Pribadi Wicaksono
Sultan HB X Beri Pesan Untuk Capres Pasca-Coblosan: Semua Perbedaan dan Gesekan Juga Harus Selesai

Sultan HB X seusai mencoblos hari ini memberikan pesan agar usai Pemilu, semua permasalahan, perbedaan antarcapres selesai.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.