Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Seriosa

Oleh

image-gnews
Iklan
MALAM itu, saya terpaksa menonton opera. Adapun hari itu saya jadi tamu di Sydney. Acara sudah disusun. Tuan rumah (yang kini tak saya ingat lagi) ingin memperkenalkan kebangaan kotanya: gedung opera yang termasyhur itu, yang berada di bibir pantai, dengan atap putih berlipat-lipat runcing bagaikan kulit kerang di kaki langit. Memang tak ada duanya di dunia. "Kami punya pelukis seperti Nolan. Kami punya pengarang seperti Patrick White. Dan kami punya gedung opera ini," kata teman saya, dari Canberra, mencoba meyakinkan. Australia, tambahnya pula, tak cuma bisa menghasilkan Olivia Neton John dan Rick Springfield, si pop dan si rock. Coba saja di Sydney ini. Dan maiam itu saya pun menonton opera. Seni, tampaknya, memang perlu bukan hanya karena ia menggetarkan. Seni juga perlu buat merk sebuah kelas bendera sebuah gengsi. Di gedung opera, dalam remang-remang, saya terkantuk-kantuk. Saya memang mencoba melawan berat di pelupuk mata ltu, dengan susah payah, tiap menit, ketika di pentas mereka memainkan libretto The Cnning Little Vixen karyaJanacek dari tahun 1924. Alangkah sulitnya. Saya melirik ke kiri ke kanan: tamu-tamu lain yang hadir dalam undangan buat saya malam itu, nyonya-nyonya yang berkalung mutiara, tuan-tuan yang berdasi kupu-kupu dan berkemeja renda. Mereka, kelihatannya, asyik. Tapi kenapa saya tidak? Di waktu jedah kami keluar. Orang pun minum anggur atau sampanye. Seorang nyonya manis bicara tentang hawa Kota Sydney yang sedap. Saya memandangi lesung pipinya. Nyonya itu pun menyambung bicara tentang hubungan musik Janacek dan Mussorgsky. Saya memandangi lentik hidungnya. "Tuan tampaknya tertarik benar pada kesenian Barat, seperti opera ini," tiba-tiba ia menyimpulkan. "Tentu, memang begitu," sahut saya buru-buru. Esok malamnya ternyata saya diundang lagi ke Sydney Opera House. Der Rossenkavalie karya Strauss sibuk laiu lalang bicara Jerman sambil nyanyi jauh di depan - dan saya, di kursi, gagal menyembunyikan kantuk. Kepala saya bergayut-gayut. Brosur acara jatuh ke kaki . . . Beberapa tahun kemudian saya ceritakan peristiwa itu kepada seorang kenalan. Dia merengut. "Aneh kamu ini," katanya. "Bagaimana mungkin tak bisa menikmati opera." Padahal, katanya lagi seraya mengencangkan tinju, itu tanda "suatu kelengkapan peradaban". Rupanya, ada sesuatu yang senantiasa terjadi pada musik dan jatuhnya di dalam hidup sehari-hari: ia punya warna-warni prestise. Barangkali ituah sebabnya, di Indonesia, entah dari mana asal muasalnya, ada jenis lagu yang disebut "seriosa" dan ada yang "hiburan". Yang pertama disebarkan luas oleh RRI Jakarta 30 tahun yang lalu dengan nama yang seakan-akan datang dari Italia. Umumnya, musik ini ditandai oleh keangkeran: warna suara tinggi, langkahnya lambat, suaranya syahdu, tak sembarangan, pendeknya dari hati yang gawat. Sebenarnya tak banyak bedanya jenis lagu-lagu ini dengan musicanti yang dinyanyikan orang di Venezia buat para turis. Tapi di Indonesia, ia memperoleh kelas tersendiri. Barangkali karena pada dasarnya kita menghormati keseriusan - seraya melecehkan kegembiraan. Sensasi, gerak, celoteh, main-main, dianggap bisa dilakukan setiap orang: seorang politikus pun bisa melagukan Benci tapi Rindu. Karena itulah lagu yang populer sering dianggap bukan lagu yang punya prestise. Apa boleh buat: musik "tinggi" memang menghendaki bakat yang khusus, visi yang luar biasa, latihan yang tak main-main. Tapi dengan demikian memang akan banyak orang yang terasing dari proses kehidupan yang "tinggi" itu. Musik para jenius bukanlah musik untuk orang ramai. Ia musik "elitis " . Dalam banyak hal ia juga mahal: mendulang emas memang memerlukan waktu dan perlengkapan. Hanya lingkungan yang cocok dan sumber kekayaan yang besar yang dapat melahirkan seniman besar buat orkes besar dan sebuah gedung seperti Sydney Opera House. Namun, anehnya, semangat populisme masa kini toh tak mengganyang "musik tinggi" itu. Baik di bawah Mao maupun di bawah Khomeini, Beethoven tidak dilarang, tapi Mick Jagger pasti. Barangkali karena Mao ataupun Khomeini pada dasarnya seperti Plato: bercita-cita mendirikan republik yang melarang seni yang bergairah, lantaran gairah dianggap destruktif. Atau, barangkali pula, karena Beethoven atau Mahler bisa dianggap hanya bunyi yang tak akan dimengerti seperti bunyi kumbang. Ini mengingatkan saya pada dua orang teman waktu di SMA dulu. Kami satu rumah indekos. Teman yang pertama biasa menyanyi sore-sore sambil mengusap jerawatnya di depan cermin, "Dia mengerling. . . Dia tertawa... Ha-ha-ha-ha-ha...." Yang seorang lagi mendengar Lagu Biasa karya R.A.J. Sudjasmin itu sambil bersungut-sungut, "Apa bagusnya? Apa enaknya"' Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

3 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

44 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

49 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

49 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.