Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Puisi dalam Politik Kita

image-profil

image-gnews
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Husein Ja'far Al Hadar, peminat filsafat

Sebenarnya, sejarah puisi adalah sejarah yang luhur. Ketika teologi, filsafat, sains, atau bahkan agama mengalami kejenuhan dalam menjawab teka-teki dan memberi akan keber-Ada-an manusia, maka peradaban berpaling ke puisi. Puisi menjadi semacam Sang Mesias. Menurut penyair metafisik Inggris, John Keats, puisi adalah satu-satunya yang mampu merangkul manusia dalam keterasingannya. Jadi, tak mengherankan jika mistisisme atau sufisme dalam Islam pada akhirnya berpaling ke puisi. Sebab, hanya melalui puisi, pengalaman transenden (ektase) seorang sufi dapat dibahasakan. Keluhuran puisi pula yang membawa Aristoteles justru menilai bahwa puisi harus berperan menciptakan efek katarsis guna menekan nasfu-nafsu rendah.

Dalam ranah filsafat, dua varian aksiologis, yakni estetika dan etika, tak bisa dilepaskan. Termasuk, menurut penulis, dalam melihat puisi. Karena itu, menjadi problem dan salah satu perdebatan dalam filsafat, misalnya, ketika dalam filsafatnya, Karl Marx tidak merumuskan secara sistematis pandangannya tentang estetika, di tengah pembahasan tentang etika yang menyita hampir seluruh perhatiannya. Juga Martin Heidegger, yang tak memunculkan pembahasan tentang etika dalam karya filsafatnya, di tengah estetika yang menempati kedudukan penting dalam pemikirannya. Karena itu, dalam sudut pandang filsafat, tak pernah diandaikan puisi minus estetika dan, atau etika.

Namun, dalam politik kita kali ini, puisi diseret dalam panggung politik secara sarkastik oleh sebagian politikus kita. Puisi diperdaya justru untuk sesuatu yang sebaliknya dari apa yang ditegaskan Aristoteles: melayani nafsu-nafsu rendah sebagian politikus dan menciptakan efek (politik) kotor. Puisi pun dicerabut dari nilai-nilai dasarnya: estetika dan etika. Puisi di tangan sebagian politikus itu kehilangan segalanya, baik aspek profetik maupun nilai etik dan estetik. Masihkah yang mereka gubah itu layak disebut puisi?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal sejarah politik negeri ini sudah mengukir episode di mana puisi diletakkan dalam takhtanya yang luhur dan tepat dalam ruang politik. Sebagaimana dilakukan Soe Hok Gie, di mana puisi dijadikan media untuk mengkritik dan memprotes secara luhur, etik dan estetik, akan kepemimpinan yang mengancam nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan nilai-nilai luhur lainnya. Namun sejarah luhur puisi dalam politik kita itu seolah tak mengilhami, bahkan tak membekas, dalam benak sebagian politikus kita saat ini.

Akhirnya penulis diingatkan pada apa yang ditanyakan Friedrich Holderlin dalam elegi Bread and Wine (1797), apa guna penyair di masa suram ini? Menurut Holderlin, penyair harus mampu merasakan jejak-jejak pelarian para dewa dari dunia masa kita yang menyebabkannya suram. Begitu pula puisi dalam politik seharusnya digubah: untuk menyadarkan atau mengingatkan kita akan kesuraman politik kita saat ini atau selama ini. Dan sebisa mungkin, puisi dapat menjadi cahaya di tengah kesuraman itu. Bukan malah, puisi digubah untuk menyempurnakan kesuraman politik kita. Jadi, tak ada yang tersisa dari politik kita, kecuali aktivitas menghalalkan segala cara (termasuk menggubah puisi) demi nafsu berkuasa.


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Pengamat: Tanpa Karakter, Generasi Milenial Jadi Politikus Busuk

27 Februari 2018

Pengamat Politik LIPI, Siti Zuhro. TEMPO/Imam Sukamto
Pengamat: Tanpa Karakter, Generasi Milenial Jadi Politikus Busuk

Agar tidak menjadi politikus busuk, Siti Zuhro menyarankan kepada generasi milenial untuk memiliki bekal pengetahuan cukup.


Ah, Rupanya Setya Novanto Pernah Digelari Pria Paling Tampan  

14 Desember 2015

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto berjalan keluar ruangan seusai menjalani sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 7 Desember 2015. Sidang yang berlangsung tertutup tersebut berlangsung selama kurang lebih lima jam. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Ah, Rupanya Setya Novanto Pernah Digelari Pria Paling Tampan  

Perjuangan hidup Setya Novanto yang berliku dibenarkan Olis Datau, teman dekatnya di Surabaya.


Istana Setya Novanto, Tak Cuma Memandang Hujan dari Luar  

14 Desember 2015

Kediaman Setya Novanto di Kupang, Nusa Tenggara Timur. tabloidbintang.com
Istana Setya Novanto, Tak Cuma Memandang Hujan dari Luar  

Rumah itu dibangun sesuai dengan karakter Setya dan istri keduanya, Deisti Astriani Tagor.


Setya Novanto dan Istananya yang Megah di Kupang

14 Desember 2015

Kediaman Setya Novanto di Kupang, Nusa Tenggara Timur. tabloidbintang.com
Setya Novanto dan Istananya yang Megah di Kupang

Bangunan ini didirikan Setya Novanto untuk memenuhi beberapa fungsi sekaligus.


Kisah Setya Novanto Hobi Diskusi Bareng Istri di Kamar Mandi

14 Desember 2015

Salah satu kamar mandi di rumah mewah milik Setya Novanto. Yudi Dwi Hertanto/HOME Living
Kisah Setya Novanto Hobi Diskusi Bareng Istri di Kamar Mandi

Setya Novanto dan Luciana Lily Herliyanti sepakat membangun rumah dan mendesainnya bak hotel, bahkan istana.


Politikus Rangkap Jabatan

5 April 2015

Politikus Rangkap Jabatan

Menurut Puan, posisinya di partai selama ini nonaktif dan ia selalu berfokus pada pekerjaan dan tanggung jawab di eksekutif sebagai menteri (Tempo.co, 1 April).


Korupsi dan Politik

14 November 2014

Korupsi dan Politik

Seorang anggota DPR dari sebuah partai besar memiliki sebidang tanah yang luas di sebuah tempat di Jawa Timur. Dia memang dikenal sebagai seorang pengusaha real estate. Di tengah tanahnya ada sebuah jalan kampung kecil. Sebagai seorang anggota DPR, dia mengusulkan anggaran pembangunan infrastruktur jalan itu atas nama kepentingan publik. Kemudian, anggaran sebesar Rp 120 miliar disetujui panitia anggaran DPR.


Artidjo: Semua Koruptor Dicabut Hak Politiknya  

19 September 2014

Hakim Agung Artidjo Alkostar. TEMPO/Seto Wardhana
Artidjo: Semua Koruptor Dicabut Hak Politiknya  

"Tapi, kalau jabatan hanya untuk korupsi biasa dan bukan jabatan poltik, tidak tepat dicabut hak politik."


Fahri Hamzah dan Kontroversinya  

19 Agustus 2014

Fahri Hamzah. TEMPO/Imam Sukamto
Fahri Hamzah dan Kontroversinya  

Setidaknya ada lima persoalan yang membuat nama politikus PKS itu menjadi kontroversi.


Survei: Publik Kian Tak Percaya Politikus  

7 April 2013

TEMPO/Machfoed Gembong
Survei: Publik Kian Tak Percaya Politikus  

Karena banyaknya kader partai yang di eksekutif dan legislatif yang terjerat kasus korupsi.