M. Alfan Alfian,
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Any political system is an acccident. If the system works well on the whole it is a lucky accident. --- Edward Banfield
Sejumlah media memberitakan komentar anggota Komisi II DPR, Nurul Arifin, yang menganalogikan praktek pemilu legislatif 2014 sebagai perang saudara di Suriah yang ganas dan tidak ada etikanya lagi, karena (sesama) saudara saling memakan. Nurul sendiri konon terlempar dari kursinya dan apa yang ia katakan tampak mewakili keluh-kesah hampir semua calon legislator yang kalah, ataupun yang menang.
Persaingan tajamlah yang membuat Nurul menghubungkan pemilu dengan perang Suriah. Sebab, yang diperebutkan adalah dukungan suara terbanyak. Seorang caleg bersaing dengan rekan mereka dalam satu parpol dan dari parpol lain. Tidak ada saudara dalam kompetisi elektoral, yang ada sesama lawan. Dengan pemakaian kalimat "sesama saudara saling memakan", aktris film Naga Bonar (1986) tersebut sesungguhnya tengah menegaskan bahwa konsekuensi kanibalisme-politik tak terelakkan dan nyata.
Tuntutan ongkos para caleg keterlaluan. Salah satu penyebabnya, masyarakat disebut semakin proaktif, alias memiliki keberanian yang tinggi, untuk meminta uang atau rupa-rupa lainnya kepada para caleg. Pola pragmatisme-transaksional dominan terjadi di lapangan. Para caleg yang uangnya banyak, berpeluang besar menang. Yang pas-pasan, apalagi yang irit dan tekor, mudah (kalau bukan pasti) tersingkir.
Banyak orang merasa ada sesuatu yang salah dari semua itu. Sistem proporsional terbuka berdasarkan dukungan suara terbanyaklah yang menjadi penyebabnya. Boleh dikatakan, sistem ini merupakan jenis ekstrem lain dari sistem proporsional dengan stelsel daftar tertutup. Yang pertama, parpol hanya menyorongkan orang sebagai caleg. Yang kedua, parpol perannya lebih penting lagi, karena ia bisa mengatur nomor urut caleg yang menentukan kemenangan.
Melihat pengalaman pemilu kita sekarang, timbul gagasan dalam benak banyak orang ihwal perlunya mengembalikan sistem pemilu lama: proporsional tertutup. Kemudian, dibikinlah diskusi-diskusi yang menimbang sistem proporsional tertutup. Para pembicara menyorot kelemahan-kelemahan sistem proporsional terbuka dan bernostalgia dengan era sistem proporsional tertutup. Mereka mengatakan bahwa dulu masyarakat tidak seagresif sekarang. Dulu, masyarakat tidak berani terang-terangan memeras para caleg.
Disebut juga, sistem proporsional tertutup lebih menjamin pembangunan kelembagaan partai. Sistem pengkaderan dapat dijaminkan ke sistem pemilu yang memprioritaskan kader-kader terbaik pilihan parpol. Dulu, pemilu kita simpel. Pemilih cukup mencoblos tanda gambar parpol. Dulu, orang parpol bekerja sebagai bagian integral dari mesin politik besar parpol. Tapi, semua itu tinggal kenangan ketika sistem proporsional tertutup digeser oleh yang terbuka.
Tapi sistem perpolitikan kita masih berpeluang berubah. Ketika orang menggagas perlunya kembali ke sistem pemilu lama, hal demikian wajar saja. Sebab, demokrasi politik memberi peluang trial and error alias mekanisme coba-gagal alias korektif. Yang kurang dilengkapi, yang lemah diperkuat, yang bolong ditambal, dan seterusnya. Dan, sistem pemilu memang termasuk yang selalu berubah. Perubahannya seperti pendulum yang bergerak dari proporsional tertutup, terbuka terbatas alias setengah terbuka, lalu ke terbuka murni. Tidak hanya kalangan pemerintah dan DPR yang terlihat dalam perubahan sistem itu, tapi juga Mahkamah Konstitusi.
Miriam Budiardjo dalam buku legendarisnya, Pengantar Ilmu Politik, menjelaskan betapa tidak ada satu pun sistem pemilu yang ideal. Sistem proporsional nyatanya tidak lebih sempurna ketimbang sistem distrik, dan sebaliknya. Karena itu, kemudian muncul berbagai variasi sistem pemilu. Para pakar dan, terutama, politikus terus berikhtiar mencari sistem pemilu yang cocok. Tentu saja soal menemukan yang cocok ini tidak gampang. Dalam hal inilah apa yang disitir Edward Banfield di atas terasa relevansinya.
Jangan-jangan seluruh produk sistem politik kita merupakan buah kecelakaan politik. Sayangnya, tidak semua sistem membuahkan keberuntungan (a lucky accident). Ada yang diuntungkan dan tidak dalam sistem politik. Tetapi, sekadar mengharapkan sistem pemilu menguntungkan diri dan kelompoknya, ternyata tetap berisiko senjata makan tuan. Sebab, tidak semua pembuat undang-undang pemilu saat ini terpilih, bahkan konon malah banyak yang tersingkir.
Tampaknya, banyak yang setuju bahwa sistem politik kita perlu dibenahi, guna menyingkirkan ekses-ekses negatifnya. Tentu, pekerjaan besar inilah yang akan dibebankan kepada para anggota DPR mendatang. DPR punya fungsi legislasi, ujung tombak perubahan sistem. Tapi apakah mereka memiliki gagasan yang sama dengan arus kuat gagasan masyarakat atau tidak, tentu bergantung pada lalu lintas kepentingan. Para politikus sering melupakan kekuatan gagasan dan sibuk mengamankan kepentingan. Akibatnya, perbaikan sistem terlewatkan. Tapi ketika ada yang merasa dirugikan oleh sistem yang dibuat sendiri, yang muncul justru sederet keluhan.*