Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menahan diri di kala berkuasa

Oleh

image-gnews
Iklan
26 November 1783. Jenderal George Washington tiba di Philadelphia. Seluruh penduduk mengelu-elukannya. Pahlawan revolusi yang menang. Panglima yang dicintai prajurit. Pemimpin yang membebaskan rakyat Amerika dari ancaman penjajahan Inggris untuk seterusnya. Maka harian Pennsylvania Journal pun menulis, dengan huruf-huruf kapital: "WASHINGTON, THE SAVIOUR OF HIS COUNTRY!" George Washington, sang penyelamat negeri, kemudian jadi presiden Amerika Serikat yang pertama. Berbeda dengan banyak orang yang duduk di Gedung Putih sesudahnya, Washington tak terkenal gemilang. Dia kadang digambarkan sebagai tokoh yang agak bersahaja, dalam arti jangkauan intelektualnya terbatas. Dia dianggap lebih seorang "pekerja" ketimbang seorang "pemikir". Maka apa gerangan tanda kebesarannya sebagai bapak bangsa? Seorang penulis sejarah Amerika terkemuka, Page Smith, menjawab pertanyaan itu dengan sebuah paradoks. Kebesaran Washington, tulis Smith dalam jilid kedua buku A New Age Now Begins, "terletak terutama bukan pada apa yang dilakukannya, melainkan pada apa yang tidak dilakukannya". Dengan kata lain, "pengekangan diri Washingtonlah, dan bukan tindakan Washington, yang menentukan kebesarannya." Dia, sebagai pahlawan, tak membiarkan diri menuruti puji-pujian. Dia, sebagai pemimpin eksekutif yang begitu besar kekuasaannya (karena begitulah ditentukan oleh Konstitusi Amerika), selalu sabar menghadapi para wakil rakyat di Kongres. Ketika sejumlah pasukan bekas anak-buahnya mengancam berontak, Washington -- dengan tatapan yang dibantu kacamata tua -- menemui mereka. Ia menegaskan kembali, bahwa pejuang revolusi sekalipun perlu tetap tunduk kepada tertib sipil. Barangkali karena itulah, Amerika Serikat berhasil meletakkan fondasi demokrasinya hingga begitu kokoh selama lebih 200 tahun. Dan orang pun teringat satu tokoh lain: Nehru, dari India di abad ke-20. Di bulan November 1937, di sebuah penerbitan di Calcutta dimuat satu profil yang tajam tentang pemimpin kemerdekaan India itu. Nehru, begitulah tulisan itu menyebutkan, mengandung dalam dirinya beberapa anasir yang bisa menjadikannya seorang diktator. Ia populer, berkemauan keras, penuh energi. Tapi ia bersikap tak toleran kepada orang lain, dan cenderung menghina mereka yang lemah dan tak efisien. Maka tulisan itu bertanya: Tak mungkinkah Jawaharlal membayangkan diri sebagai seorang Caesar? Jawabnya: "Di situlah letak bahaya bagi Jawaharlal dan bagi India." Itu adalah peringatan yang dini bagi seorang yang di ambang kekuasaan besar. Yang menarik, tulisan dikirimkan oleh Nehru sendiri. Meskipun ia tak pernah mengakui secara resmi bahwa dialah penulis profil yang tajam tentang dirinya itu. Apakah sebabnya seorang dapat menahan diri? Nilai-nilai apakah yang ada dalam dirinya hingga ia tak tergoda menjadi seorang Caesar? Page Smith, berbicara tentang Washington, menyebut adanya "ethos Protestan" dalam diri tokoh itu. Tak begitu jelas segi mana dari ethos itu yang menyebabkan seseorang sadar benar akan bahayanya sebuah posisi tinggi. Mungkin itu ada hubungannya dengan semangat yang secara lebih tajam tercermin pada kaum Puritan: semangat untuk waspada terhadap godaan yang menghimbau "daging". Mungkin itu ada pula pertaliannya dengan hati seorang Calvin, yang percaya bahwa manusia "dijalari oleh racun dosa". Filosof John Locke, seraya memperingatkan bahayanya kekuasaan, mengemukakan ketidak-percayaannya bahwa kekuasaan itu akan "memperbaiki rendahnya sifat manusia". Tapi mungkin tak selamanya hanya pandangan yang begitu (yang curiga pada pamrih orang) yang menyelamatkan Washington atau Nehru dari godaan. Sebab jika manusia hanya jelek dan berdosa, dia tak akan mampu mengatasi tendensi keji dirinya sendiri. Seorang yang eling yang selalu "ingat", ialah seorang yang tahu bersyukur melihat dirinya. Tapi ia juga seorang yang tahu: kerendahan hati bisa pergi.
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kampanye Kejayaan Soeharto, Pengamat: Sulit buat Dulang Suara  

13 Maret 2017

TEMPO/ Santirta M
Kampanye Kejayaan Soeharto, Pengamat: Sulit buat Dulang Suara  

Pengamat yang juga peneliti CSIS mengatakan nostalgia terhadap kejayaan Soeharto tak akan bisa digunakan untuk mendulang suara dalam pemilu.


Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Luhut: Lihat Peran Sejarah  

20 Mei 2016

Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, saat coffee morning dengan sejumlah wartawan di kantor Menkopolhukam, Jakarta, 21 April 2016. Luhut menyampaikan harapannya agar Indonesia jangan mau didikte negara asing. TEMPO/Aditia Noviansyah
Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Luhut: Lihat Peran Sejarah  

"Soeharto kan punya peran dalam sejarah pembangunan. Kalau diberikan gelar pahlawan ya kita hargai," ujar Luhut Binsar Pandjaitan.


Tiga Tahun Pak Harto Mangkat, Rumah Cendana Sepi

27 Januari 2011

Tiga Tahun Pak Harto Mangkat, Rumah Cendana Sepi

Rumah di Jalan Cendana yang ditinggali Pak Harto semasa hidupnya ini, memang sejak lama tidak pernah dijenguk oleh kerabat.


Kecewa Majelis Hakim, Korban Stigma PKI Lapor ke MA

20 Juli 2005

Kecewa Majelis Hakim, Korban Stigma PKI Lapor ke MA

Ratusan orang mantan napol/tapol korban stigma Gerakan 30 September- Partai Komunis Indonesia (PKI) Rabu siang (20/7), melapor ke Mahkamah Agung (MA). Mereka merasa dikecewakan oleh penundaan sepihak oleh Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Fuad Bawawier Ditolak PAN Boyolali

26 Desember 2004

Fuad Bawawier Ditolak PAN Boyolali

Fuad Bawazier kandidat ketua Partai Amanat Nasional (PAN) ditolak DPD Boyolali. Citra pribadi Fuad dianggap kurang bagus bagi PAN.


Jusuf Kalla: Naskah Asli Super Semar Ada di Soeharto

9 September 2004

Jusuf Kalla: Naskah Asli Super Semar Ada di Soeharto

Masih banyak dokumen penting yang disimpan M Jusuf.


Soebandrio Tutup Usia

3 Juli 2004

Soebandrio Tutup Usia

Bekas Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri era Orde Lama, Soebandrio meninggal dunia, Sabtu (3/7) dinihari di usia 90 tahun.


Kontras Minta Tri Sutrisno Dijadikan Tersangka

3 Maret 2004

Kontras Minta Tri Sutrisno Dijadikan Tersangka

Menurut Kontras, berdasarkan keterangannya di persidangan dan bukti garis komando ketika peristiwa Tanjung Priok terjadi, hakim dan jaksa bisa menjadikan Tri Sutrisno sebagai tersangka.


1955

23 Maret 1999

1955


Mitterrand

23 November 1985

Mitterrand

Presiden prancis, Francois Mitterrand, menyebut nama Soeharto dalam catatan hariannya. Mitterrand lebih banyak berbicara soal kemerdekaan & hati nurani. (ctp)