Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Masyarakat dambaan wittfogel

Oleh

image-gnews
Iklan
DI Persia zaman dulu ada seorang wazir bernama Rashid ad-Din. Dia bukan sembarang perdana menteri. Dia penulis sejarah, dia juga penyusun hukum yang pandai. Dia kesayangan Sultan. Kata orang, baginda pernah memberinya hadiah emas yang lebih besar ketimbang emas anugerah Iskandar Agung kepada Aristoteles. Tapi pada suatu hari dia difitnah. Sejumlah pejabat yang cemburu menyusun siasat, hingga Rashid bisa didakwa berbuat keji: meracuni Sultan. Baginda memang wafat, dan digantikan putranya. Sang Sultan baru inilah kemudian yang membiarkan Rashid dihukum mati. Mula-mula, anaknya yang dipancung. Kemudian, wazir tua itu sendiri yang dipotong jadi dua. Yang menarik ialah bahwa Rashid tak dipaksa untuk mengakui semua hal yang dituduhkan kepadanya. Kenapa? Dalam pengusutan politik zaman kita kini, si tertuduh umumnya dipaksa mengaku. Dia dipatahkan. Segenap daya sangkalnya dicopot. Pengakuannya akan membuktikan bahwa bukan saja si pendakwa, yang berkuasa itu, benar. Tapi lebih penting lagi, pengakuan itu bukti bahwa si terdakwa itu bisa ditaklukkan dengan mudah. Dia tak layak dipuja orang ramai sebagai pahlawan -- ketika kediktaturan begitu dibenci hingga tiap pembangkang dianggap hero. Para pengusut zaman modern memang membutuhkan hal seperti itu: mereka sadar akan opini orang ramai. Dan itulah bedanya dengan para penuduh Rashid ad-Din. Mereka hanya berhadapan dengan desa-desa dan kampung-kampung gilda kota. Di sana, dalam kata-kata Karl A. Wittfogel, yang ada hanya "demokrasi para pengemis". Pengertian "demokrasi pengemis" ini agaknya cukup pen ting dalam buku Wittfogel yang terkenal itu, Oriental Despotism, yang tahun 1981 diterbitkan lagi dengan pengantar baru. Kata "demokrasi" di sana menunjukkan, bahwa kemerdekaan bukannya tak ada dalam "masyarakat hidraulis" yang mendasari despotisme Timur itu. Tapi di kamp kerja paksa pun, kata Wittfogel, ada kemerdekaan: para penghuninya diperbolehkan buat berkumpul dalam kelompok, dan bicara seenaknya. Bahkan sering di antara mereka diberi jabatan pengawas, meskipun kecil kekuasaannya -- sekedar untuk menghemat personil resmi. Tapi, kemerdekaan itu adalah "kemerdekaan yang secara politik tak relevan". Ia tak akan melahirkan otonomi penuh. Demokrasi itu tak lain adalah "demokrasi pengemis". Kata "pengemis" nampaknya bukan cuma untuk mengeraskan suatu metafora. Kata itu menunjukkan juga dasar dari Wittfogel: bahwa kemerdekaan ada hubungannya dengan kekuasaan, dan kekuasaan ada hubungannya dengan milik. Pemerintahan "despotisme Timur" yang nampak di India, Cina, Rusia, Amerika Selatan dan Mesir kuno adalah pemerintahan mereka yang mengatur kunci hidup sosial-ekonomi -- penguasa irigasi pertanian. Wittfogel karenanya juga menyebut "despotisme Timur" itu sebagai despotisme "agrobirokratik". Baginya, nyaris tak ada yang terpuji dari sana jika kita ingin bicara tentang kemajuan dan harkat manusia. DALAM banyak hal, Oriental Despotism memang ditulis dengan semangat sebuah polemik -- khususnya kepada kaum Marxis-Leninis. Sebab hasil revolusi Rusia dan Cina bagi Wittfogel tak lain adalah teror, suatu pemulihan kembali "despotisme Timur" itu. Karena itulah, jika ia bicara tentang Asia, Wittfogel seakan mendambakan suatu "masyarakat yang berpusat banyak," dengan dasar kelas menengah yang kuat, dan buruh yang diorganisasikan, serta petani yang bebas. Seperti di Barat dan Jepang? Begitulah kira-kira. Setidaknya suatu masyarakat yang punya cukup kekuatan untuk menghadapi "agrobirokrasi" yang mengontrol secara total itu: suatu masyarakat yang tak akan menenggelamkan diri dalam ketakutan yang memacetkan. Di situ Rashid ad-Din tak akan begitu gampang difitnah dan disembelih. Negeri tak akan kehilangan seorang tenaga yang begitu penting dan piawai.
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kampanye Kejayaan Soeharto, Pengamat: Sulit buat Dulang Suara  

13 Maret 2017

TEMPO/ Santirta M
Kampanye Kejayaan Soeharto, Pengamat: Sulit buat Dulang Suara  

Pengamat yang juga peneliti CSIS mengatakan nostalgia terhadap kejayaan Soeharto tak akan bisa digunakan untuk mendulang suara dalam pemilu.


Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Luhut: Lihat Peran Sejarah  

20 Mei 2016

Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, saat coffee morning dengan sejumlah wartawan di kantor Menkopolhukam, Jakarta, 21 April 2016. Luhut menyampaikan harapannya agar Indonesia jangan mau didikte negara asing. TEMPO/Aditia Noviansyah
Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Luhut: Lihat Peran Sejarah  

"Soeharto kan punya peran dalam sejarah pembangunan. Kalau diberikan gelar pahlawan ya kita hargai," ujar Luhut Binsar Pandjaitan.


Tiga Tahun Pak Harto Mangkat, Rumah Cendana Sepi

27 Januari 2011

Tiga Tahun Pak Harto Mangkat, Rumah Cendana Sepi

Rumah di Jalan Cendana yang ditinggali Pak Harto semasa hidupnya ini, memang sejak lama tidak pernah dijenguk oleh kerabat.


Kecewa Majelis Hakim, Korban Stigma PKI Lapor ke MA

20 Juli 2005

Kecewa Majelis Hakim, Korban Stigma PKI Lapor ke MA

Ratusan orang mantan napol/tapol korban stigma Gerakan 30 September- Partai Komunis Indonesia (PKI) Rabu siang (20/7), melapor ke Mahkamah Agung (MA). Mereka merasa dikecewakan oleh penundaan sepihak oleh Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Fuad Bawawier Ditolak PAN Boyolali

26 Desember 2004

Fuad Bawawier Ditolak PAN Boyolali

Fuad Bawazier kandidat ketua Partai Amanat Nasional (PAN) ditolak DPD Boyolali. Citra pribadi Fuad dianggap kurang bagus bagi PAN.


Jusuf Kalla: Naskah Asli Super Semar Ada di Soeharto

9 September 2004

Jusuf Kalla: Naskah Asli Super Semar Ada di Soeharto

Masih banyak dokumen penting yang disimpan M Jusuf.


Soebandrio Tutup Usia

3 Juli 2004

Soebandrio Tutup Usia

Bekas Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri era Orde Lama, Soebandrio meninggal dunia, Sabtu (3/7) dinihari di usia 90 tahun.


Kontras Minta Tri Sutrisno Dijadikan Tersangka

3 Maret 2004

Kontras Minta Tri Sutrisno Dijadikan Tersangka

Menurut Kontras, berdasarkan keterangannya di persidangan dan bukti garis komando ketika peristiwa Tanjung Priok terjadi, hakim dan jaksa bisa menjadikan Tri Sutrisno sebagai tersangka.


1955

23 Maret 1999

1955


Mitterrand

23 November 1985

Mitterrand

Presiden prancis, Francois Mitterrand, menyebut nama Soeharto dalam catatan hariannya. Mitterrand lebih banyak berbicara soal kemerdekaan & hati nurani. (ctp)