Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Lawanlah Permulaannya!

image-profil

image-gnews
Iklan

Seno Gumira Ajidarma
wartawan

Mengapa militerisme yang diterapkan ke dalam dunia politik perlu mendapat pengawasan? Bagaimanakah faktor kekerasan, sebagai unikum dalam militerisme, akan (dapat) dihilangkan? Jawabannya terdapat dalam perbincangan totaliterisme.

Seperti diketahui, totaliterisme merupakan monster, yang dalam sejarah telah dipraktekkan oleh Nasional-sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di Kamboja. Apakah bedanya pemerintahan totaliterisme dengan despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi?

Suatu usaha teoretisasi atas totaliterisme berikut memang nyaris seperti menyamakannya: (1) ideologi totalistik; (2) partai diperkuat polisi rahasia dalam fungsi teror; (3) kontrol monopoli atas: (a) komunikasi massa; (b) persenjataan operasional; (c) organisasi rencana ekonomi terpusat (Friedrich dalam Barber, 1969: 126).

Meskipun perumusan itu tampak sudah seperti totaliterisme, tetap saja mendapat kritik seperti ini: (1) hanya merupakan konsep relatif, yakni bisa sama saja dengan kediktatoran totaliter, yang seperti gejala politik lain, tidak merupakan istilah absolut; (2) masih mirip dengan konsep para tetangganya: otokrasi, kediktatoran, dan tirani, ketika seharusnya berbeda; (3) meskipun obyek teoretisasinya adalah pemerintahan dan rezim, perumusannya terlalu umum, sehingga bisa diterapkan bagi khalayak luas dan pemerintah aktual mana pun; (4) terbangun dalam formulasi sentimen moral, karena istilah "teror" dan "negara polisi" jelas mengimbaskan ketidaksetujuan (Orr dalam DeCrespigny & Cronin, 1975: 138-9).

Jadi, apa yang luput dari teoretisasi itu, setelah polemik seru antara Hayes, Brzezinski, Friedrich, dan Schapiro, dalam diskusi khusus tentang totaliterisme, yang dianggap begitu perlu setelah melahirkan makhluk-makhluk mengerikan seperti Hitler, Stalin, dan Pol Pot? Hannah Arendt (1906-1975) memang telah mengusut asal-usul totaliterisme sebagai ideologi dalam sejarah, dimulai dari kasus antisemitisme, yang sangat menarik sebagai esai, tapi belum juga menjadi jawab atas pertanyaan: mengapa suatu rezim bisa menjadi totaliter?

Penyelidikan dari sudut bahasa ternyata menemukan asal-usul yang relevan: istilah totalitar digunakan pertama kali di Jerman pada 1930, oleh Ernst Juenger, bagi pengertian mobilisasi militer! (Schapiro, 1972: 13). Dengan referensi ini, terbangun suatu "dalil": totaliter = mobilisasi militer. Apabila dalil ini dipertimbangkan bagi gagasan khalayak termobilisasi (mobilized society), ternyata hasil perumusannya mampu memisahkan pemerintahan totaliter dari sindroma sentralisasi rezim, seperti despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan kata lain, sumber empirik totaliterisme adalah pengalaman perang modern. Dalam teoretisasi berikut, terlacak bagaimana militerisme telah menjadi sumbernya: (1) partai monopolistik, tempat para perwira memiliki komando eksklusif; (2) khalayak massa sebagai bawahannya; (3) keterpisahan partai dan massa dikurangi sampai menjadi hubungan setara berdasarkan tujuan-dan penolakan atas "sesuatu"-bersama; (4) tujuan dan penolakan bersama, menghadirkan "musuh", baik eksternal maupun internal, kepada siapa "perang" dilancarkan, dimulai dari negara lain, revisionis, sampai kemiskinan; (5) suatu ideologi diperlukan untuk melakukan identifikasi kawan dan lawan, untuk memuji maupun mengutuknya; (6) arah ekonomi terpusat, sesuai dengan standar perang modern.

Nah, ke manakah terserapnya kekerasan dalam militerisme? Disebutkan bahwa khalayak totaliter bukanlah tentara, tapi dipahami sebagai seperti tentara yang siaga. Tentu lantas menjadi rancu, mana tentara termobilisasi, mana khalayak sipil (Orr, ibid.:142).

Itu teorinya, adapun prakteknya, sejarah mencatat bahwa totaliterisme akan selalu berkecenderungan: (1) berusaha menaklukkan dunia; (2) tidak peduli hukum dan tanpa merasa bersalah melanggar hak asasi manusia; (3) mendirikan kamp tahanan kolosal; (4) tidak menghitung jumlah korban demi ideologinya; (5) melaksanakan kejahatan nyata yang lebih kreatif dari imajinasi awam; (6) atas nama utopia, hak-hak sipil-bahkan hak-hak manusia-secara sistematik dilecehkan [Ballestrem/Magnis-Suseno dalam Arendt, 1995 (1979): xiii].

Harap diperhatikan, rezim totaliter tumbuh dari situasi non-totaliter. Memang terdapat kondisi sosial ekonomi yang mendukungnya. Situasi mematangkan itu ada, bahkan dibuat seperti tampak matang melalui agitasi, propaganda, dan kampanye hitam!

Akan halnya tendensi-tendensi totaliter, orang Romawi kuno memberi jalan untuk mencegahnya: principiis obsta!-lawanlah permulaannya! (Magnis-Suseno, ibid.: viii-xxii). Jangan sampai ada rezim totaliter (lagi!) di negeri ini.


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

19 hari lalu

Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

Partai politik memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan negara.


Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

19 hari lalu

Joe Biden dan Donald Trump dalam debat kandidat Presiden AS, 23 Oktober 2020.  REUTERS/Jim Bourg/Pool
Pilihan Amerika Serikat Hanya Punya 2 Partai Politik, Ini Penjelasannya

Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar di dunia memilih dominasi hanya dua partai politik yaiutu Partai Republik dan Partai Demokrat.


Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

25 hari lalu

Calon Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menyampaikan pidato seusai penetapan sebagai pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kertanegara, Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. KPU menetapkan pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pemilu 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Prabowo Dinilai Butuh Koalisi Raksasa Usai Penetapan Pemilu 2024, Berikut Jenis-jenis Koalisi

LSI Denny JA menyatakan Prabowo-Gibran membutuhkan koalisi semipermanen, apa maksudnya? Berikut beberapa jenis koalisi.


8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

27 hari lalu

Ilustrasi Rapat DPR. TEMPO/M Taufan Rengganis
8 Parpol ke Senayan Penuhi Parliamentary Threshold di Pemilu 2024, Apa Bedanya dengan Presidential Threshold?

PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, dan PAN penuhi parliamentary threshold di Pemilu 2024. Apa bedanya dengan Presidential Threshold?


Daftar 8 Parpol yang Lolos ke DPR di Pemilu 2024, 10 Lainnya Gagal ke Senayan

28 hari lalu

Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan para jajaran menunjukkan berita acara saat membacakan pemenang Pemilu 2024 di Gedung KPU, Menteng, Jakarta, Rabu, 20 Maret 2024. KPU mengumumkan pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 dengan jumlah 96.214.691 suara, sementara pasangan nomor urut 1 Anies-Cak Imin mendapat 40.971.906 suara dan Pasangan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud 27.040.878. TEMPO/Febri Angga Palguna
Daftar 8 Parpol yang Lolos ke DPR di Pemilu 2024, 10 Lainnya Gagal ke Senayan

Hasil akhir rekapitulasi suara KPU menyebutkan 8 parpol lolos ke Senayan. Sementara 10 parpol lainnya gagal ke DPR di Pemilu 2024. Berikut daftarnya.


MK Tolak Gugatan Uji Materil Frasa Gabungan Partai Politik dalam UU Pemilu

29 hari lalu

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menjawab pertanyaan awak media di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakaarta Pusat, Selasa, 19 Maret 2024. ANTARA/Nadia Putri Rahmani
MK Tolak Gugatan Uji Materil Frasa Gabungan Partai Politik dalam UU Pemilu

Hakim MK mengatakan, keberlakuan Pasal 228 UU Pemilu sesungguhnya ditujukan bagi partai politik secara umum,


MK Putuskan Gugatan Mahasiswa soal Pembubaran Partai Politik Tidak Dapat Diterima

29 hari lalu

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), memimpin jalannya sidang dengan agenda pembacaan putusan uji formil aturan syarat usia capres dan cawapres di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 16 Januari 2024. MK menolak permohonan yang diajukan oleh Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. MK menolak gugatan uji formil terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
MK Putuskan Gugatan Mahasiswa soal Pembubaran Partai Politik Tidak Dapat Diterima

Seorang mahasiswa mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi.


Jika 5 Parpol Tidak Gerakkan Hak Angket DPR, Pakar Hukum Tata Negara Sebut Ini yang Terjadi

30 hari lalu

Feri Amsari. TEMPO/M Taufan Rengganis
Jika 5 Parpol Tidak Gerakkan Hak Angket DPR, Pakar Hukum Tata Negara Sebut Ini yang Terjadi

Pakar hukum tata negara Feri Amsari melihat belum ada gerakan signifikan dari 5 parpol untuk gerakkan hak angket indikasi kecurangan Pemilu 2024.


Apa Kabar Hak Angket Pemilu 2024? Adnan Topan Husodo: Bisa Masuk Angin Jika Ada Parpol Tersandera Politik dan Hukum

35 hari lalu

Adnan Topan Husodo. linkedln.com
Apa Kabar Hak Angket Pemilu 2024? Adnan Topan Husodo: Bisa Masuk Angin Jika Ada Parpol Tersandera Politik dan Hukum

Dorongan parpol lakukan hak angket didukung setidaknya 50 tokoh belum lama ini. Adnan Topan Husodo mewaspadai beberapa hal yang bisa gagalkan ini.


50 Tokoh Surati Megawati, NasDem, PKS, PKB, PPP: Eks Direktur KPK Sebut Soal Tantangan Hak Angket

37 hari lalu

Calon pimpinan (capim) KPK Sujanarko menyampaikan pendapatnya saat uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di Komisi III DPR, Kompleks Senayan, Jakarta, 14 Desember 2015. ANTARA/M Agung Rajasa
50 Tokoh Surati Megawati, NasDem, PKS, PKB, PPP: Eks Direktur KPK Sebut Soal Tantangan Hak Angket

Eks Direktur KPK Sujanarko sebut soal tantangan hak angket yang diusulkannya bersama 49 tokoh lain dalam surat yang ditujukan ke Megawati dan lainnya