Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Agama Calon Presiden dan Biologi Evolusi

image-profil

image-gnews
Iklan

Dyna Rochmyaningsih
Jurnalis Sains Independen

Menjelang pemilihan presiden Juli mendatang, banyak orang mempermasalahkan kedalaman agama kedua kandidat. Izinkan saya menelaah fenomena ini dari perspektif biologi evolusi. Para ilmuwan kini mulai meyakini bahwa agama dan politik merupakan bagian dari sifat dasar manusia (human nature). Mereka percaya bahwa, seperti segala sifat manusia yang lain, politik dan agama pun bersifat hereditary, yang berarti diwariskan melalui DNA.

Profesor Darren Scheiber, political neuroscientist dari Universitas Exeter, Inggris, dan salah satu pengusung teori hereditas dalam politik dan agama, mengakui bahwa masih banyak yang belum diketahui tentang bagaimana biologi menentukan keputusan politik. Namun penelitian terhadap orang-orang kembar yang memiliki kecenderungan sikap yang sama, baik itu dalam politik maupun agama, meyakinkan para ilmuwan bahwa sifat yang mengatur soal kecenderungan politik dan agama juga diwariskan.

Dalam perspektif evolusi, politik dapat ditemui pada banyak makhluk hidup lain, seperti lumba-lumba, gajah, hyena, dan simpanse. Mereka berinteraksi dengan anggota dalam kelompok mereka untuk mendapatkan kekuasaan dalam komunitasnya. Hewan-hewan ini juga bisa membentuk koalisi.

Berbeda dengan politik, agama merupakan suatu hal yang baru ditemui pada spesies manusia modern( Homo sapiens). Richard Sosis, seorang ahli biologi evolusi, mengemukakan sebuah teori tentang fungsi agama dalam evolusi manusia. Tidak seperti sejawatnya dari Inggris, ahli biologi evolusi Richard Dawkins, yang mengatakan bahwa agama adalah parasit, Sosis justru berteori bahwa agama adalah sebuah bentuk adaptasi bagi keberlangsungan hidup spesies manusia modern.

Bagi Sosis, agama merupakan sebuah alat untuk mencapai kesatuan sosial (social cohesion). Dengan mempercayai Tuhan yang sama, manusia bisa lebih mudah bekerja sama.

Peran agama sebagai penyatu sosial ini terlihat jelas dalam sejarah umat manusia, walaupun sekarang peran agama sebagai penyatu sosial mulai luntur di negara-negara Barat yang perlahan meninggalkan agama. Di Amerika, misalnya, pemilihan presiden bukan lagi menyoal tentang agama, melainkan lebih ke arah ideologi partai, liberal atau konservatif, yang berwujud kebijakan-kebijakan yang sering kali bertolak belakang.

Namun, di negara-negara Islam, peran agama sebagai penyatu sosial terasa masih sangat kental. Banyak umat Islam, termasuk mereka di Indonesia, kecewa atas keterpurukan negara-negara muslim sekarang, dan kekecewaan ini berakhir pada sebuah kerinduan akan kejayaan masa lampau. Dalam pandangan mereka, Islam, sebagai identitas, haruslah dimiliki oleh pemimpin negara muslim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Isu agama ini semakin mencuat menjelang pemilu presiden 2014 dan, menurut saya, masih menjadi faktor signifikan saat memutuskan siapa calon yang dipilih.

Keputusan memilih presiden, sebagaimana keputusan lain dalam hidup manusia, didasari pertimbangan rasional dan emosional. Pertimbangan rasional dapat berwujud dari analisis visi dan misi kedua calon presiden. Sedangkan pertimbangan emosional bisa berwujud kecintaan kepada partai pengusung, rasa kagum terhadap calon presiden, dan lain-lain. Meskipun rasio dan emosi saling bekerja sama untuk membuat sebuah keputusan, pastilah ada yang lebih dominan di antara keduanya.

Mengingat kebanyakan rakyat Indonesia tidak melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi, dan mengingat para calon presiden kita mengusung visi dan misi yang normatif, saya ragu bahwa akan banyak warga Indonesia menggunakan analisis rasional dalam pilpres nanti. Kebanyakan pasti akan menggunakan jalan pintas (short cut) dalam memilih. Jalan pintas ini merupakan analisis emosional di mana sikap keagamaan (religious behavior) bermain dan menjadi dominan.

Dengan memanfaatkan sifat manusiawi ini, banyak dari politikus kita menggunakan agama untuk menyetir kontroversi politik melalui kampanye hitam. Mereka memanfaatkan sifat natural manusia, yang cenderung memihak agamanya untuk menyerang kandidat lain. Apa yang akan terjadi setelah kampanye hitam ini?

Profesor Darren Scheiber, dalam komunikasinya dengan penulis, mengatakan: "Jika seorang politikus atau partai ingin sukses menggunakan agama untuk tujuan politik mereka, mereka haruslah terlihat 'ikhlas', bukan 'politis' (memiliki maksud tertentu). Bagaimanapun, para politikus hanya merepotkan diri sendiri jika mereka terlalu bersekutu dengan figur atau kelompok agama tertentu. Hal ini karena mereka bisa membentuk koalisi yang terlalu terbatas. Keterbatasan semacam ini akan mematikan bagi mereka."

Banyak informasi di media sosial mengenai keagamaan kandidat yang terlihat sangat politis. Alih-alih ikhlas, masyarakat melihat ibadah mereka sebagai aksi politik. Dan, menurut Darren, hal itu justru tidak menguntungkan bagi mereka.

Pilpres Juli mendatang akan menunjukkan kesahihan argumen Darren dan Sosis. Apakah rakyat Indonesia benar-benar sedang menggunakan agama sebagai penyatu sosial?

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

27 Desember 2021

Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar
Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.


DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

22 Desember 2021

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa
DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.


Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

27 Maret 2017

Ketua DPR Setya Novanto melambaikan tangan sembari tertawa usai mengikuti Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 15 Maret 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.


Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

22 Maret 2017

Putera sulung mantan Presiden SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) (tengah) menyerahkan piala kepada Ketua Pelaksana Kejuaraan Asia Karate SBY Cup XIV Jackson AW Kumaat (keempat kiri) di Jakarta, 25 Februari 2017. ANTARA FOTO
Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini


Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

16 Januari 2017

Presiden Joko Widodo memberi pernyataan usai Rapim TNI, didampingi Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Cilangkap, 16 Januari 2017. TEMPO/Yohanes Paskalis
Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.


Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

10 September 2015

Susilo Bambang Yudhoyono membacakan pidato politiknya usai ditetapkan menjadi ketum periode 2015-2020 dalam penutupan Kongres Demokrat di Surabaya, 13 Mei 2015. Dalam pidato politiknya SBY membacakan 10 rekomendasi hasil kongres untuk landasan kerja selama lima tahun kedepan. TEMPO/Nurdiansah
Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.


Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

28 Oktober 2014

Relawan membentangkan Bendera Merah Putih raksasa saat mengikuti kirab budaya menyambut Presiden ketujuh Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di kawasan MH Thamrin, Jakarta, 20 Oktober 2014. TEMPO/M IQBAL ICHSAN
Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.


Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

13 Oktober 2014

Pendukung Jokowi-JK menggunduli rambutnya saat Pemilu Presiden 2014 di posko Relawan Keluarga Nusantara di Kuta, Bali, 9 Juli 2014. TEMPO/Johannes P. Christo
Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.


Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

9 Oktober 2014

Pimpinan MPR terpilih, Ketua Zulkifli Hasan bersama Wakil Ketua (kiri-kanan) Hidayat Nur Wahid, H. Mahyuddin, Evert Erenst Mangindaan dan Oesman Sapta Odang berfoto bersama pada Sidang Paripurna pemilihan pimpinan MPR di Gedung Nusantara, Jakarta, 8 Oktober 2014. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata


Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari



langsung menjadi lewat MPR.


Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

30 September 2014

Jokowi. ANTARA/Rosa Panggabean
Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.