Tom Saptaatmaja,
Alumnus Seminari St. Vincent de Paul
Ada yang menyebut kerusakan lingkungan hidup saat ini terparah dalam sejarah umat manusia. Sayangnya, agama atau teologi "monoteisme" konon malah punya andil dalam penghancuran lingkungan karena ajarannya yang menempatkan manusia sebagai pusat ciptaan. Ajaran yang antroposentris ini kerap dijadikan legitimasi bagi para pelaku kerusakan lingkungan hidup di mana pun.
Ayu Utami, dalam novel Bilangan Fu (KPG, Jakarta, 2008),mencoba mengkritisi pandangan agama atau teologi monoteisme yangjustru menjerumuskan ekologi dalam kerusakan. Monoteisme hanyamengajarkan agar manusia memperbaiki akhirat, tapi merusakdunia. Novel ini mengapresiasi ajaran agama tradisional, seperti"sakralisasi alam". Dalam ajaran ini, setiap unsur di alam, sepertigunung, hutan, pohon, atau danau, memiliki penghuni yang harusdihormati. Tanpa disadari, ajaran animistis ini justru menghindarkangunung, hutan, pohon, atau danau dari destruksi.
Sedangkan teolog feminis, Rosemary Radford Ruether, mengecam budayapatriarki. Sebabnya, kata dia, budaya ini memberikan kontribusi negatif bukan hanya terhadap kemanusiaan perempuan, tapi juga terhadap perusakanlingkungan di sepanjang sejarah.
Syukurlah, agama atau teologi monoteisme mau menerima kritik sepertiyang dilontarkan Ayu Utami atau Ruether. Kini sudah munculapa yang disebut dengan ekoteologi, yang mencoba menata ulang posisimanusia. Manusia bukan sebagai pusat (antroposentris) lagi di alamsemesta. Citra palsu manusia sebagai tuan atas ciptaan-ciptaan lainharus dilepas atau ditanggalkan karena manusia adalah mitra Tuhanatau sahabat Sang Pencipta guna menyelamatkan dunia dari kerusakanekologi yang lebih parah. Dosa-dosa ekologis manusia modern yangmengeksploitasi bumi dan merasa memiliki keunggulan dibanding ciptaanlain perlu terus dikoreksi dan dikritisi.
Ekoteologi menawarkan ajaran atau ekologi baru bahwa segenap penganutagama monoteis kini hanya menjadi pendatang belakangan di dunia danpunya tugas menghindarkan lingkungan hidup dari destruksi (David G.Hallman, "Beyond 'North/South Dialogue'", dalam David G. Hallman, Ed.,Ecotheology: Voices from South and North (Maryknoll, New York: OrbisBooks, 1994, p 6)).
Sayang, gema dari ekoteologi ini baru mulai muncul di negeri kitabeberapa tahun belakangan ini. Tidak mengherankan jika destruksi terhadaplingkungan hidup di negeri ini justru terus dilakukan di tengah alpanyakaum politikus dan pengambil kebijakan akibat ingar-bingarperpolitikan menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014.
Kalau politik yang diusung para politikus kita sungguh bervisilingkungan (green politic), jelas kita tidak perlu cemas. Tapi, sayang, politik yang diusung lebih mengutamakan politik bagi-bagi kekuasaan. Isu-isu ekologi pun tersisih. Kita sudah melihat betapa memuakkannya ketika para anggota parlemen justru turut berandil dalam kejahatan ekologi, seperti kasus alih fungsi hutan di Sumatera yang merusak lingkungan hidup.
Kita berharap presiden dan pemerintahan baru kelak serta segenapkomponen bangsa lainnya di negeri ini sungguh akan punya kepeduliansejati pada lingkungan hidup. *