Agus Dermawan T.
Pengamat Budaya Dan Seni
Pada pekan-pekan penuh gelora pemilihan presiden, mitos merah-putih kembali berkelindan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ketika deklarasi calon presiden-wakil presiden, misalnya, Jokowi dan JK tampak mencium bendera Merah Putih. Sementara itu, koalisi gemuk pendukung Prabowo-Hatta dengan bangga menamakan diri mereka Koalisi Merah-Putih.
Semua tahu bahwa merah-putih disanjung sebagai ikon nasional sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Tapi bahwa merah-putih telah termitos di masyarakat Nusantara sejak dulu kala, dokumen prasejarah siap menuturkannya. Catatan-catatan kuno menyebut bahwa merah-putih adalah presentasi bayangan dari matahari dan rembulan yang melintas di khatulistiwa. Orang-orang Nusantara masa lalu memang sangat mempercayai dua bulatan jagat raya itu sebagai pemberi tuah kesaktian. Yang merah tentulah matahari: lambang kejantanan, semangat keberanian dan bertindak. Sedangkan putih adalah rembulan: lambang kelembutan, keagungan, dan kesucian.
Walmiki, dalam kisah Ramayana yang ditulis pada 400 SM, menyinggung ihwal tanah sekitar Asia Selatan dengan sebutan Nusa Emas dan Nusa Perak, alias Kepulauan Merah dan Putih. Gugusan pulau yang ditafsirkan sebagai Nusantara ini konon kekayaannya telah terdengar sampai Cina dan Mesir. Pada perkembangan lanjut, penduduk Nusantara mengembangkan mitos merah-putih ini dengan membuat metafora getih dan getah. Getih, atau darah, yang semula untuk menyimbolkan zat kehidupan, diangkat sebagai wakil dari warna merah. Sedangkan getah adalah cairan yang keluar dari tumbuh-tumbuhan (sumber kesejahteraan hidup), sebagai wakil dari warna putih. Pilihan simbol ini mengisyaratkan bahwa manusia dan tumbuh-tumbuhan adalah dua sekawan yang tak boleh terpisahkan.
Itu sebabnya, pada era Majapahit, merah-putih dijadikan warna untuk sebagian umbul-umbul. Pada sisi belakang, di dunia kuliner, mereka menciptakan bubur bang-putih (bubur sumsum merah-putih), yang mengkomposisikan gula merah (dari kelapa dan aren) di atas bubur putih yang dibuat dari beras. Bubur bernilai ritual ini, setelah ditegaskan keberadaannya oleh Syekh Siti Jenar pada masa setelah Majapahit, tampak terus diolah sampai sekarang.
Dalam perang Jawa yang memakan waktu lima tahun sejak 1825, pasukan Diponegoro berkali-kali mengibarkan merah-putih sebagai "tanda kemuliaan". Sedangkan di Minangkabau, pada zaman Perang Paderi (1818-1838), merah-putih tumbuh sebagai simbol sosial. Merah di sini disebut sebagai warna hulubalang. Sedangkan putih sebagai warna petinggi alim ulama. Ini di samping junjungan atas warna hitam, yang disebut sebagai warna penghulu atau kepala adat.
Merah-putih pada era Indonesia modern secara simbolik-seremonial terwujud dalam bendera kebangsaan, untuk kemudian diaplikasikan dalam berbagai tanda yang menyatakan keindonesiaan.
Namun bukan hanya Indonesia yang meluhurkan merah dan putih. Masyarakat di kepulauan Hawaii, misalnya, juga menjunjung dua warna itu dengan puitis dan demografis. Pulau Hawaii memuliakan merah (ulaula) lewat kembang lehua, sedangkan Oahu dan pulau lain memuliakan warna putih (keokeo) lewat bunga pupu. Begitu pula negara Polandia, Austria, serta Kerajaan Monako yang mengerek bendera merah-putihnya sejak 1861. Meski tentu hanya Merah Putih Indonesia yang selalu diikuti teriakan: Merdeka! *