TEMPO.CO, Jakarta - Endang Suryadinata,Salah Satu penulis Warisan Daripada Soeharto
Janji calon presiden Prabowo yang hendak mempahlawankan Soeharto, bila kelak terpilih jadi presiden, menuai kecaman dari kalangan reformis anti-Orde Baru, anti-otoritatianisme, anti-korupsi, anti-kolusi, dan anti-nepotisme.
Janji itu perlu kita sikapi dengan kritis. Sikap kritis ini murni demi kepentingan bangsa yang lebih besar, yakni mencegah bangkitnya kembali Soeharto. Atas nama stabilitas nasional, Soeharto telah membungkam kebebasan dan menindas hak asasi manusia. Prinsip demokrasi dikebiri. KKN marak.
Memang Soeharto selalu menimbulkan pro-kontra, baik selama hidup maupun sesudah mangkat. Mempahlawankan Soeharto sekarang ini jelas masih amat sensitif. Butuh waktu. Jangan lupa, Bung Karno yang lahir pada 6 Juni 1901 dan wafat 20 Juni 1970 baru pada 1986 ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Janji Prabowo mempahlawankan Soeharto adalah perjudian politik berbahaya, apalagi media-media pendukungnya membuat rekonstruksi sejarah berlebihan atas Pak Harto, yang mengingkari prinsip kebenaran.
Memang, sejarah sendiri merupakan proses rekonstruksi masa lalu secara ilmiah. Namun, saat pengungkapan itu menunjukkan sikap melebih-lebihkan Soeharto, rekonstruksi mengingkari prinsip sejarah.
Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan kontribusi Pak Harto. Di berbagai koran di negeri ini, penulis selalu mengungkapkan, mustahil sejarah bangsa ini menghapus nama Soeharto, apalagi mencoret perhatiannya dalam sektor pertanian. Tapi, melebih-lebihkan perannya, seperti niat Prabowo itu, jelas keliru.
Apalagi para kroni Soeharto dan pendukung ideologinya begitu pandai memanfaatkan celah dan kesempatan untuk meraup keuntungan materi atau politis, di atas ratusan ribu korban HAM di era Soeharto yang luka-lukanya belum mengering hingga kini.
Melebih-lebihkan peran Soeharto, apalagi hendak mempahlawankannya, hanya akan melanjutkan kebiasaan bangsa ini untuk memanipulasi sejarah. Seperti diketahui, selama 32 tahun berkuasa, Pak Harto membuat sejarah sesuai dengan keinginannya. Sejarah, termasuk para sejarawan, harus melayani kekuasaannya.
Tidak mengherankan, selepas lengsernya Pak Harto pada 21 Mei 1998, bermunculan beraneka penulisan sejarah untuk melawan sejarah yang ditulis pada era Orba. Misalnya, berbagai buku sejarah yang ditulis dari sudut pandang korban.
Niat Prabowo hanyalah cermin betapa kita kerap salah dan gagal mengelola sejarah masa lalu. Simak saja ucapan para politikus yang membodohi lewat ajakan untuk melupakan kejadian yang telah lalu demi menyongsong masa depan bangsa yang lebih cerah. Ajakan itu baik-baik saja, jika diucapkan oleh para motivator gadungan.
Tapi, jangan lupa, masa depan tidak bisa diraih sebelum kita mau menerima kenyataan dan mau belajar dari sejarah masa silam. Masih ada warisan kasus pelanggaran HAM masa silam pada era Soeharto, dari peristiwa 1965, Talangsari Lampung, dan peristiwa Mei 1998 yang terus disangkal.
Kita perlu membereskan masa lalu untuk melangkah lebih baik ke masa depan. Dalam ilmu psikologi, kita bisa belajar bahwa masa kanak-kanak sangat menentukan masa selanjutnya. Mempahlawankan Soeharto silakan saja, asalkan berbagai kasus pelanggaran HAM masa silam di eranya juga dituntaskan. Tanpa keadilan terhadap korban, niat mempahlawankan Pak Harto bisa dibaca sebagai upaya untuk melanjutnya ideologi totalitarianisme dan praksis politik yang sarat KKN dan pembusukan hukum. *