TEMPO.CO, Jakarta - J.B. Kleden, Pegawai negeri Kanwil Kementerian Agama NTT
Good news is a bad news. Barangkali karena itulah peristiwa penyerangan oleh sekelompok intoleran kepada umat Katolik yang sedang beribadah Doa Rosario di rumah Julius Felicianus, Direktur Galang Press, Kompleks Perumahan STIE YKPN Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Mei lalu, meski membuat kita miris, tidak menjadi headline atau top news. Kekerasan agama bukan lagi bad news karena "sudah biasa" dan tidak lagi mengejutkan di Indonesia.
Baca Juga:
Kurang-lebih 67 tahun di Amerika terbit sebuah novel berjudul Knock on Any Door. Sinopsis pada halaman depan novel karya Willard Molley (1947) itu berhasil menarik minat pembaca dan menjadikannya the best-known novel karena mengungkapkan rahasia kehidupan kota. Kota adalah sebuah dunia kecil. Ia selalu tampak megah, semarak, dan serentak jorok, melarat. Banyak pintu masuk kota, tapi banyak pula hal dan peristiwa tersembunyi di balik pintu-pintu itu. Pelbagai warna kehidupan dijumpai di sana, tapi tidak sedikit kematian terjadi. Dari dulu warna kota seperti itu-itu juga. Rakyat dan pelancong datang silih berganti, mondar-mandir campur aduk. Yang tampak di mata cuma taman-taman indah. Tapi apa yang terjadi di balik taman dan di lorong-lorong kota tak seorang pun tahu.
Toleransi antar-umat beragama di Indonesia, tidak salah bila diibaratkan dengan eksistensi kota, seperti tergambar dalam novel tersebut. Menyimpan sisi indah, megah, dan serentak jorok-memilukan. Di atas kertas, dalam rumusan undang-undang, juga gelegar retorika negara, toleransi kita dipromosikan dan mendapat penghargaan internasional. Tapi ada sisi gelap yang memilukan. Sisi ini terungkap, bukan oleh novel Knock on Any Door dari Amerika, melainkan oleh kasus kekerasan di Sleman dan beberapa kasus serupa di tempat lain dalam NKRI yang ber-Ketuhanan yang Mahaesa dan Berperikemanusiaan yang Adil dan Beradab ini.
Jika sungguh jujur, kita akan mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap umat yang sedang melakukan ibadat di Sleman, dan kasus kekerasan serupa lainnya, sulit dijelaskan dengan dalil "keliru" atau "telanjur". Sayangnya, negara merasa telah berbuat banyak dengan menjelaskan "ini bukan kekerasan agama, ini kriminal murni".
Mungkin selama ini kita sengaja mengabaikan sisi gelap dalam toleransi kita karena takut menimbulkan luka dan peradangan yang berkepanjangan. Namun, dengan menyepelekan kasus-kasus keagamaan hanya sebagai kriminal murni oleh mereka yang posisinya paling menentukan jatuh-bangunnya negeri ini, justru akan memperbesar potensi kekerasan agama berikutnya.
Kita tidak membutuhkan seorang penulis novel Knock on Any Door untuk membongkar semua sisi gelap dalam toleransi kita dan mengubahnya. Kita hanya membutuhkan saling pengertian yang tuli untuk sejauh dapat mengurangi dan, kalau mungkin, menghilangkan sisi gelap yang semakin membesar bagi kehidupan beragama di Tanah Air kita.
Yang memilukan adalah tragedi yang melukai umat Katolik ini terjadi persis saat umat Nasrani merayakan Kenaikan Isa Al Masih dan umat muslim memperingati Isra Mikraj. Terlepas dari dogmatik Islam dan Kristen, peristiwa Isra dan Mikraj, terutama Mikraj Nabi dan Kenaikan Isa Al Masih, dalam tafsiran rohaniah umum dimaknai sebagai peristiwa naiknya kedua nabi melampaui sesuatu yang ada di bawah, yang material dalam kehidupan duniawi untuk "manunggal" dengan "Yang Melampaui Segala Ada".
Koinsidensi kedekatan peringatan Mikraj Nabi dan Kenaikan Yesus Kristus semestinya menjadi momentum bagi untuk "melampaui" atau "menembus" identitas masing-masing yang terbatas untuk merengkuh identitas umat yang lebih luas dan dalam, yakni sebagai citra Allah. Kedua peristiwa ini mengajak kita untuk berani melihat sisi lain, berani melampaui pengkotak-kotakan yang tercipta karena situasi kehidupan nyata agar mencapai esensi kebenaran yang melampaui kotak-kotak itu.
Dalam situasi negara yang semakin kompleks dan fragmentaris tanpa suatu konsensus pada level moral dan religius, agama yang banyak di Indonesia harus saling bergandengan tangan. Kalau kita enggan, kita pasti ditegur sang Khalik. Dan dunia pun tertawa karena agama-agama yang banyak di Indonesia justru semakin mandul memecahkan masalah di Indonesia.