Terseretnya Raffi Ahmad dan rekan-rekannya dalam urusan narkotik semakin mengkonfirmasi soal banyaknya konsumsi barang terlarang ini oleh kaum pekerja. Kelompok produktif, termasuk artis, diincar karena mereka berpenghasilan rutin. Realitas ini semakin menuntut keterlibatan kalangan swasta dalam memerangi narkotik.
Raffi, yang digerebek di rumahnya, memang tak positif mengkonsumsi narkotik. Petugas Badan Narkotika Nasional menyatakan, ada kemungkinan presenter kondang ini menggunakan ekstasi jenis baru yang belum masuk Undang-Undang Narkotika. Begitu pula Wanda Hamidah, politikus Partai Amanat Nasional, yang juga ditahan bersama Raffi. Lewat tes urine, ia dinyatakan tidak mengkonsumsi narkotik. Tapi keduanya masih menjalani tes lain, dan hingga kemarin belum dilepas oleh BNN.
Penggerebekan di rumah Raffi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta, itu pun bukan tanpa hasil. Dari 17 orang yang ditangkap di sana, setidaknya lima orang telah dinyatakan positif memakai ekstasi dan ganja. Profesi para pengguna ini beragam, dari pegawai swasta hingga pengacara. Cuma seorang dari mereka yang belum bekerja.
Kasus itu memperkuat hasil survei yang pernah dirilis oleh BNN, bahwa kaum pekerja merupakan kelompok utama (70 persen) dari sekitar 4 juta pengguna narkotik di negara kita. Karyawan swasta dan pengusaha termasuk kelompok ini. Kalangan berpenghasilan cukup, yang jumlahnya sekitar 50 juta di negara kita ini, merupakan sasaran empuk bagi pengedar narkotik. Kelompok ini memerlukan semacam hiburan di tengah rutinitas kerja. Bahkan kini berkembang pula penjualan narkotik lewat Internet. Pengedar membidik orang yang stres atau jenuh yang bisa diketahui lewat obrolan di media sosial.
Besarnya pasar itulah yang menggoda para bandar narkotik dunia. Para pemasok dan pengedar pun tetap beraksi kendati sebagian mereka telah masuk penjara. Jumlah narapidana dan tahanan narkotik kini mencapai 42 ribu lebih. Sekitar 22 ribu di antaranya adalah pengedar atau bandar, dan sisanya pengguna.
Memenjarakan para bandar dan pengedar merupakan upaya penting dalam memerangi narkotik. Bahkan mereka mesti dihukum seberat-beratnya. Tapi pemerintah juga wajib melibatkan masyarakat luas untuk memberantasnya. Menggelar tes urine, misalnya, penting dilakukan bukan hanya terhadap pegawai negeri, tapi juga pegawai swasta.
Pemerintah, khususnya BNN, bisa menjalin kerja sama dengan pihak swasta. Kalangan pebisnis tentu tidak berkeberatan bila karyawan mereka dites narkotik. Tujuannya bukan untuk menjebloskannya ke penjara, melainkan untuk mengetahui secara dini jika menjadi pecandu. Dengan begitu, ia bisa segera dibawa ke pusat rehabilitasi narkotik untuk disembuhkan.
Banyaknya kasus narkotik yang melibatkan artis seharusnya juga menjadi pelajaran bagi siapa pun yang menjalin hubungan bisnis dengan mereka. Si artis mungkin perlu dites narkotik sebelum dikontrak untuk menghindari kerugian. Sikap antinarkotik ini niscaya akan membatasi ruang gerak pecandu, sekaligus mempersempit lahan bisnis narkotik.