PUTUSAN Mahkamah Agung patut dipertanyakan. Majelis kasasi memvonis Khoe Seng Seng alias Aseng dengan denda Rp 1 miliar hanya karena menulis surat pembaca. Denda yang begitu besar ini, selain tak masuk akal, amat melukai rasa keadilan.
Aseng bernasib buruk justru karena ia berani menyatakan pendapat soal kios di ITC Mangga Dua, Jakarta, yang dibelinya pada 2006. Ia dan beberapa pembeli lain kecewa lantaran status tanah kios ternyata bukan hak guna bangunan murni seperti dijanjikan pengembang. Artinya, Aseng membayar kios lebih mahal daripada yang seharusnya. Bersama tiga pembeli lain, ia menulis surat pembaca di beberapa koran. Inilah yang membuat pengembang PT Duta Pertiwi tersinggung, lalu mengajukan gugatan pidana dan perdata dengan tuduhan mencemarkan nama baik.
Keadilan tak berpihak pada Aseng. Di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, ia dipidana 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Hingga kasus ini naik ke pengadilan tinggi sampai Mahkamah Agung, nasibnya tak berubah. Begitu pula dalam tuntutan perdata. Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Aseng dengan denda Rp 1 miliar. Meski putusan ini sempat dibatalkan di tingkat banding, kasasi yang diajukan PT Duta Pertiwi dikabulkan. Aseng pun harus membayar denda seperti putusan pengadilan negeri. Putusan itu sebenarnya sudah turun tahun lalu, tapi baru belakangan ini tersiar resmi akibat birokrasi di Mahkamah.
Putusan itu aneh karena, setahun sebelumnya, Mahkamah dengan majelis hakim agung berbeda justru membebaskan Kwee Meng Luan alias Winny. Perkaranya sama persis, yaitu gugatan oleh PT Duta Pertiwi gara-gara Winny menulis surat pembaca. Semestinya, putusan itu dijadikan acuan untuk membebaskan Aseng.
Majelis kasasi juga sama sekali tidak mempertimbangkan dalil pembebasan dari pengadilan banding. Saat itu Pengadilan Tinggi mempersoalkan tidak dilibatkannya koran Kompas dan Suara Pembaruan, media tempat Aseng menulis surat pembaca, di pengadilan.
Jelas, majelis kasasi mengabaikan bahwa surat pembaca adalah produk pers. Seharusnya Aseng diadili menggunakan Undang-Undang Pers, bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Perdata. Majelis kasasi bahkan mengabaikan Surat Edaran Mahkamah Agung yang berlaku sejak 2008. Edaran itu berisi anjuran kepada para ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers.
Ada pula soal lain, yaitu rekam jejak majelis kasasi. Ketiga hakim--Imron Anwari (ketua) dan Suwardi serta Timur P. Manurung (anggota)--pernah disorot serius ketika mendiskon hukuman mati Hillary Chimezie, gembong narkoba asal Nigeria, dari vonis mati menjadi 12 tahun penjara. Bahkan, sebelumnya, hakim Imron pernah memberikan diskon serupa kepada Hanky Gunawan, terpidana mati kasus narkoba asal Surabaya. Sampai sekarang, ketiga hakim itu belum pernah diperiksa.
Melihat keanehan putusan kasus Aseng ini, semestinya Komisi Yudisial turun tangan. Ketiga anggota majelis kasasi harus diperiksa untuk putusan bermasalah itu. Aseng pun mesti terus berjuang dengan mengajukan peninjauan kembali. Ia berhak mendapat keadilan karena hanya menulis keluhan di media, bukan melakukan kejahatan.