Kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam urusan keamanan menimbulkan problem baru. Ia memfungsikan Tentara Nasional Indonesia untuk meredam konflik dalam masyarakat, langkah yang menabrak undang-undang. Tak semestinya tentara dilibatkan menjaga ketertiban sosial.
Peran TNI itu diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Tentara masuk tim terpadu yang dibentuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Tim ini beranggotakan antara lain Kepala Kepolisian, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Badan Intelijen Negara. Tim terpadu serupa juga dibentuk oleh gubernur dan bupati atau wali kota.
Keberadaan tim terpadu mengingatkan orang akan pola koordinasi dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang kini terkatung-katung. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah masih berpolemik soal tugas perbantuan tentara dalam penanganan masalah keamanan. Sejumlah fraksi di DPR menolak jika tentara diberi peran yang terlalu besar--bahkan melampaui polisi-dalam penanganan keamanan dan ketertiban.
Terbitnya inpres tentang keamanan itu menimbulkan kesan pemerintah mencari jalan pintas. Presiden membuat kebijakan yang amat penting--sepantasnya diatur dalam undang-undang--hanya lewat instruksi presiden.
Instruksi itu juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Dalam undang-undang ini, perbantuan TNI untuk polisi diatur ketat. Kepala daerah hanya bisa meminta bantuan tentara untuk menangani konflik sosial melalui pemerintah pusat. Presiden bahkan baru bisa mengerahkan tentara untuk penanganan konflik sosial yang bersifat nasional setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR.
Mekanisme pemberian bantuan dalam undang-undang tersebut praktis tidak diperlukan lagi setelah terbit Inpres Keamanan. Sehari-hari, koordinasi di antara lembaga seperti kepolisian, TNI, dan intelijen sudah terjadi lewat tim terpadu. Masalahnya, pelembagaan peran tentara dalam urusan keamanan ini mengingatkan lagi akan pola serupa pada era Orde Baru. Cara kerja tim terpadu mirip Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas), yang dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000.
Sederet kerusuhan di pelbagai daerah, dari insiden Mesuji, Lampung, hingga Sumbawa, tidak bisa pula dijadikan alasan pembenar terbitnya inpres itu. Pemicu berbagai kerusuhan ini tetaplah masalah sosial, bukan soal keamanan. Konflik meledak karena kepala daerah tak mampu menyelesaikan sengketa dalam masyarakat. Banyak pula kasus sensitif, misalnya soal tanah, yang dibiarkan terkatung-katung oleh penegak hukum sehingga akhirnya meletupkan kerusuhan.
Pemerintah mesti mengatasi akar persoalan itu, dan bukan menambah tebal "tembok keamanan" dengan melibatkan tentara untuk meredam konflik. Presiden seharusnya mendorong kepala daerah dan penegak hukum untuk segera menyelesaikan sengketa yang berpotensi memicu konflik sosial. Kepolisian pun masih bisa ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga sanggup menjaga ketertiban sosial.