Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Koalisi Presidensial atawa Parlementer

image-profil

image-gnews
Iklan

Oce Madril,
Dosen Fakultas Hukum UGM, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM

Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan dua pasangan calon yang akan mengikuti Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Keduanya diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu legislatif 2014. Tidak adanya partai politik yang memenuhi syarat presidential threshold--memperoleh suara nasional minimal 25 persen atau kursi parlemen sebesar minimal 20 persen--membuat partai-partai bergabung (berkoalisi) untuk memunculkan calon presiden. Publik menyaksikan bagaimana alotnya pembicaraan dan negosiasi antar-partai politik untuk mengusung salah satu calon. Perolehan suara dan kursi di parlemen menjadi salah satu pertimbangan utama.

Koalisi yang mendukung Jokowi-JK terdiri atas empat partai politik: PDIP (109 kursi), PKB (47 kursi), Nasional Demokrat (35 kursi), dan Hanura (16 kursi). Total perolehan kursi parlemen pendukung koalisi Jokowi-JK adalah 207 kursi. Sedangkan koalisi Prabowo-Hatta didukung oleh lima partai politik: Gerindra (73 kursi), Golkar (91 kursi), PAN (49 kursi), PKS (40 kursi), dan PPP 39 kursi). Total perolehan kursi parlemen pendukung koalisi Prabowo-Hatta adalah 292 kursi. Hanya Partai Demokrat (61 kursi) yang tidak secara resmi menjadi pengusung capres dan cawapres.

Koalisi yang dibangun oleh masing-masing calon menunjukkan satu hal: kekuatan dukungan di parlemen sangat diperhitungkan. Selain sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon, dukungan partai di parlemen berguna untuk meloloskan kebijakan-kebijakan penting presiden terpilih. Meskipun konstitusi Indonesia menganut sistem presidensial, besarnya kekuasaan parlemen membuat setiap presiden harus "menjaga hubungan baik" dengan parlemen. Hal inilah yang sering disebut oleh akademisi hukum tata negara sebagai fenomena "presidensial citarasa parlementer".

Walaupun UUD 1945 tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara yang menganut sistem presidensial, ciri-ciri utama sistem itu dapat ditemukan dalam konstitusi. Misalnya penegasan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara, adanya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, dan presiden hanya dapat dijatuhkan melalui prosedur hukum jika melanggar konstitusi. Tapi sistem presidensial Indonesia ditandemkan dengan sistem multipartai yang tidak sederhana. Di sinilah letak persoalannya, sistem multipartai tersebut membuat praktek pemerintahan seolah-olah menjadi parlementer.

Menguatnya karakter parlementer dalam sistem presidensial Indonesia juga disebabkan oleh besarnya kekuasaan yang dimiliki parlemen (DPR). Konstitusi UUD 1945 pasca-amendemen memberi fondasi yang kokoh bagi kewenangan DPR. Penguatan parlemen tidak terlepas dari sejarah kelam pemerintahan Orde Baru yang memiliki kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol (executive heavy).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

DPR pasca-amendemen berkuasa penuh atas fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Tanpa persetujuan DPR, sebuah rancangan Undang-Undang (RUU) mustahil dapat diberlakukan. Juga, walaupun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Badan Anggaran DPR tidak bisa terlibat dalam pembahasan rancangan anggaran dan belanja negara (RAPBN) secara lebih detail, tetap saja pemerintah membutuhkan persetujuan DPR agar RAPBN dapat diterapkan.

Selain itu, DPR saat ini memiliki kewenangan pengawasan yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya. DPR dapat dengan mudah meloloskan hak interpelasi, hak angket, bahkan hak menyatakan pendapat yang dapat berujung pada pemakzulan presiden dan atau wakil presiden. Kebijakan nasional yang kontroversial (tidak populer) dapat menjadi amunisi DPR untuk menyerang presiden. Pengawasan DPR tidak hanya pada presiden, tapi juga pada kementerian dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Menteri dan pejabat pemerintahan bisa disibukkan oleh berbagai rapat dengan komisi terkait di DPR, baik soal program, kebijakan, maupun anggaran.

Menguatnya karakter parlementer diperparah oleh model koalisi pemerintahan. Pasca-reformasi, tidak ada partai politik yang mayoritas dan dominan yang dapat membentuk pemerintahan sendiri. Kekuatan partai politik terbagi hampir merata. Kondisi ini memaksa setiap presiden untuk membentuk koalisi partai politik yang mendukung pemerintah. Sebenarnya, presiden bisa saja membentuk pemerintahan sendiri tanpa melibatkan partai politik lain. Hal ini dimungkinkan karena presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan oleh partai politik. Namun apakah presiden siap dengan konsekuensi akan diganggu terus-menerus oleh partai-partai yang ada di DPR? Sebagaimana pengalaman pemerintahan mantan presiden Abdurrahman Wahid, yang hanya didukung oleh minoritas partai di DPR dan akhirnya berujung pada pemakzulan.

Tujuan utama pembentukan pemerintahan koalisi adalah demi stabilitas dukungan politik di parlemen. Sebab, pertama, partai yang tidak bergabung bisa membentuk poros oposisi di parlemen. Kedua, sulitnya menjaga komitmen koalisi partai-partai pengusung pemerintah. Secara formal, boleh jadi ada koalisi. Namun, dalam prakteknya, partai koalisi bisa saja menyeberang ke poros oposisi dalam isu-isu tertentu di parlemen. Hal ini tentu akan menyulitkan pemerintah. Lebih jauh, situasi ini dapat membentuk apa yang disebut oleh Morris P. Fiorina dalam Divided Government in the American States (1994) sebagai pemerintahan yang terbelah (divided government), di mana pemerintah dan parlemen dikuasai oleh partai (koalisi) yang berbeda, sehingga menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif.

Sistem multipartai yang tidak sederhana, besarnya kekuasaan DPR, dan rapuhnya koalisi akan membuat presiden terpilih tersandera secara politik, baik oleh partai politik maupun oleh parlemen. Solusinya, presiden terpilih harus dapat membentuk pemerintahan koalisi yang efektif, baik di pemerintahan maupun di parlemen. Koalisi efektif bukan berarti mengakomodasi semua partai, tapi minimal menguasai 50 persen +1 kursi di parlemen.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

27 Desember 2021

Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar
Survei Capres Muhaimin Iskandar Rendah, PKB: Masih Ada Peluang

Dalam survei tersebut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hanya dipilih 0,1 persen responden.


DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

22 Desember 2021

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa
DPR Dorong KPU dan Bawaslu Antisipasi Potensi Masalah Pemilu 2024

Komisi II DPR meminta KPU dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat mengantisipasi kesulitan pemilih menggunakan hak pilih, lantaran diprediksi akan banyak surat suara.


Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

27 Maret 2017

Ketua DPR Setya Novanto melambaikan tangan sembari tertawa usai mengikuti Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 15 Maret 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Setya Novanto: Golkar Siap Menangkan Jokowi di Pilpres 2019  

Setya Novanto mengungkap hitung-hitungan apabila Jokowi kembali berhadapan dengan Prabowo dalam pilpres 2019.


Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

22 Maret 2017

Putera sulung mantan Presiden SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) (tengah) menyerahkan piala kepada Ketua Pelaksana Kejuaraan Asia Karate SBY Cup XIV Jackson AW Kumaat (keempat kiri) di Jakarta, 25 Februari 2017. ANTARA FOTO
Gagal Pilkada DKI, AHY Punya Modal Besar Ikut Pilpres 2019

Qodari mengatakan masyarakat cukup mengenal figur Agus Yudhoyono atau AHY ini


Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

16 Januari 2017

Presiden Joko Widodo memberi pernyataan usai Rapim TNI, didampingi Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Cilangkap, 16 Januari 2017. TEMPO/Yohanes Paskalis
Tiap Parpol Bisa Ajukan Calon Presiden, Jokowi: Masih Proses

RUU Permilu Diperkirakan selesai sekitar bulan empat ke depan.


Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

10 September 2015

Susilo Bambang Yudhoyono membacakan pidato politiknya usai ditetapkan menjadi ketum periode 2015-2020 dalam penutupan Kongres Demokrat di Surabaya, 13 Mei 2015. Dalam pidato politiknya SBY membacakan 10 rekomendasi hasil kongres untuk landasan kerja selama lima tahun kedepan. TEMPO/Nurdiansah
Sindrom I Want SBY Back, Sinyal Ani Yudhoyono Maju Capres?

Ada spekulasi bahwa Demokrat memunculkan sindrom I Want SBY Back untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono.


Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

28 Oktober 2014

Relawan membentangkan Bendera Merah Putih raksasa saat mengikuti kirab budaya menyambut Presiden ketujuh Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, di kawasan MH Thamrin, Jakarta, 20 Oktober 2014. TEMPO/M IQBAL ICHSAN
Jokowi Tak Butuh, Relawan Bakal Membubarkan Diri

Sampai saat ini mereka masih menunggu kepastian dari Jokowi.


Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

13 Oktober 2014

Pendukung Jokowi-JK menggunduli rambutnya saat Pemilu Presiden 2014 di posko Relawan Keluarga Nusantara di Kuta, Bali, 9 Juli 2014. TEMPO/Johannes P. Christo
Jokowi Dilantik, Relawan Jokowi-JK Berevolusi

Relawan Jokowi-JK turut mengontrol realisasi program pemerintah di pedesaan.


Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

9 Oktober 2014

Pimpinan MPR terpilih, Ketua Zulkifli Hasan bersama Wakil Ketua (kiri-kanan) Hidayat Nur Wahid, H. Mahyuddin, Evert Erenst Mangindaan dan Oesman Sapta Odang berfoto bersama pada Sidang Paripurna pemilihan pimpinan MPR di Gedung Nusantara, Jakarta, 8 Oktober 2014. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Fahri: Koalisi Pro-Prabowo Tidak Berencana Pilpres MPR  

"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan,"
kata


Fahri Hamzah soal agenda mengubah pemilihan presiden dari



langsung menjadi lewat MPR.


Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

30 September 2014

Jokowi. ANTARA/Rosa Panggabean
Giman Membawa Ratusan Pesan untuk Jokowi

Dalam perjalanannya, pria yang kesehariannya berjualan kue putu keliling itu membawa buku catatan yang berisi ratusan pesan ditulis tangan.