Putusan bagi Siti Hartati Murdaya lagi-lagi menunjukkan tidak seriusnya hakim memerangi korupsi. Penyuap Bupati Buol ini divonis 2 tahun 8 bulan penjara, jauh dibanding tuntutan jaksa, yang menghendaki ganjaran 5 tahun penjara. Vonis yang ringan ini mengherankan karena Hartati jelas dinyatakan bersalah.
Hukuman yang enteng itu bukan hanya tak sesuai dengan rasa keadilan, tapi juga makin merusak semangat pemberantasan korupsi. Hakim mengabaikan bahwa menyuap ataupun menerima uang suap sama merusaknya. Dua kejahatan itu adalah saudara kembar berwujud perilaku koruptif yang tergolong kejahatan luar biasa.
Penyuapan terhadap Bupati Buol Amran Batalipu itu dilakukan agar PT Cipta Cakra Murdaya, grup usaha milik Hartati, memperoleh izin usaha perkebunan dan hak guna usaha tanah seluas 4.500 hektare di Buol. Hartati juga menyuap agar bidang tanah lainnya seluas 22.780 hektare mendapat izin usaha serupa. Uang sogok diberikan bertahap masing-masing Rp 1 miliar dan Rp 2 miliar melalui tiga anak buah Hartati, yakni Arim, Gondo Sudjono, dan Yani Anshori.
Jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil membuktikan semua dakwaan itu di persidangan. Hartati dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Inilah delik yang biasa digunakan untuk menjerat penyuap pegawai negeri atau penyelenggara negara. Ancaman hukuman maksimalnya 5 tahun penjara.
Majelis hakim semestinya menjatuhkan hukuman maksimal itu bagi Hartati karena bukti yang diungkap di persidangan juga amat telak. Tak hanya bukti fisik berupa catatan pengeluaran dan uang yang digunakan menyuap, jaksa juga berhasil menunjukkan rekaman percakapan transaksi penyuapan.
Buat perkara biasa, putusan majelis hakim yang diketuai Gusrizal itu mungkin terbilang wajar. Vonis yang dijatuhkan masih dalam rentang, yaitu dua pertiga dari tuntutan jaksa. Namun diskon yang dianggap lumrah di kalangan hakim ini semestinya tidak diberlakukan bagi kejahatan korupsi. Bagaimanapun, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Hakim seharusnya memberi vonis yang lebih berat, kalaupun tidak bisa sama dengan tuntutan jaksa.
Anehnya pula, Hartati dianggap berjasa membangun ekonomi Kabupaten Buol dan dimasukkan sebagai faktor yang meringankan hukuman. Kalaupun benar ada jasa itu, hal tersebut tentu tidak sebanding dengan daya rusak yang timbul akibat penyuapan. Dengan menyuap pejabat, Hartati bukan hanya menguntungkan dirinya sendiri, tapi juga merusak mental pejabat yang harusnya bekerja bukan karena imbalan uang.
Hukuman ringan itu jelas tidak akan menimbulkan ejek jera dan tak membuat takut para pengusaha yang biasa menyuap pejabat. Tak muncul pesan pula dari hakim bahwa suap merupakan kejahatan yang merusak moralitas bangsa ini. Itu sebabnya, wajib hukumnya bagi KPK untuk menyatakan banding atas vonis Hartati. Tidak seharusnya penyuap penyelenggara negara diganjar hukuman yang setara dengan pencuri ayam.