Alangkah konyolnya bila tata tertib peliputan pers di Dewan Perwakilan Rakyat ini benar-benar diterapkan. Wartawan dilarang mengetik dan mengirim berita lewat telepon seluler saat meliput rapat Dewan. Reportase jurnalis radio dan televisi pun dibatasi. Aturan seperti ini akan merepotkan wartawan, bahkan mengurangi kebebasan pers.
Tata tertib yang disiapkan oleh Badan Urusan Rumah Tangga DPR itu tampak melenceng dari tujuan semula, yakni sekadar menertibkan wartawan. Kalangan pers sebetulnya tidak berkeberatan jika para wartawan diwajibkan menggunakan tanda khusus untuk peliputan di DPR. Penertiban ini penting untuk mencegah masuknya jurnalis gadungan.
Hanya, rancangan tata tertib peliputan yang terdiri atas 40 pasal, yang kini dibahas DPR, ternyata cenderung membatasi kegiatan jurnalis. Reportase di dalam ruang rapat saat sidang pun dibatasi. Padahal wartawan televisi dan radio kerap melaporkan berita langsung dari ruang sidang.
Wartawan juga hanya menyiarkan hasil rapat yang disampaikan oleh ketua rapat. Ini berarti tidak cuma membatasi hak jurnalis, tapi juga hak anggota Dewan untuk bicara.
Kalangan pers tentu bertanya-tanya mengapa usul ngawur itu tetap muncul. Bukankah Badan Urusan Rumah Tangga sudah menggodok aturan ini sejak 2010? Pada 2011, usul yang sama juga banyak diprotes. Mungkinkah DPR sengaja ingin menutup diri dari pers karena sering mendapat pemberitaan miring? Jika dugaan ini benar, patut disayangkan, karena justru akan memperburuk citra lembaga ini.
DPR tak perlu alergi terhadap pers. Mereka justru kudu membuka pintu seluas-luasnya bagi wartawan agar bisa menginformasikan kegiatannya kepada publik. Bila perlu, DPR menyediakan fasilitas khusus untuk siaran langsung televisi dan mengirim berita lewat jalur Internet agar para jurnalis lebih gesit bekerja.
Politikus Senayan semestinya menyadari bahwa mereka wajib pula memberikan informasi bagi publik. Ini tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Berdasarkan undang-undang, setiap warga negara berhak mendapat informasi tentang proses penyusunan kebijakan publik. Dalam Pasal 3 undang-undang itu malah disebutkan, masyarakat harus didorong berpartisipasi aktif dalam setiap pengambilan kebijakan.
Anggota DPR tentu paham bahwa fungsi pers sama juga pentingnya dengan fungsi wakil rakyat dalam mekanisme demokrasi. Tanpa pers yang kuat, rakyat akan rugi karena tidak ada lagi yang mengawasi kinerja legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setidaknya pers bisa menjadi harapan publik bila ketiga pilar kekuasaan negara itu kurang berfungsi maksimal atau saling melindungi keburukan.
Kalangan politikus Senayan pun tak perlu takut mendapat kritik tajam lewat pers. Hal ini malah bisa memacu kinerja wakil rakyat. Aturan yang membatasi ruang gerak pers justru mencurigakan: jangan-jangan ada hal buruk yang hendak ditutup-tutupi oleh DPR.