Banjir di Ibu Kota mempermalukan lagi Gubernur Jokowi. Genangan air muncul di mana-mana, termasuk kawasan Thamrin dan Kuningan, pada Rabu lalu, kendati tidak datang banjir kiriman dari Bogor. Ia semestinya segera menindak tegas bawahannya yang kurang sigap membenahi sistem drainase.
Drainase yang berusia hampir setengah abad itu tak sanggup menghadapi guyuran hujan selama dua jam. Saluran air ini dibangun tatkala jumlah ruang terbuka hijau di atas 35 persen. Namun sekarang Jakarta telah berubah, dan akibatnya luar biasa. Guyuran hujan sedang hingga lebat akan menimbulkan genangan sekaligus kemacetan lalu lintas di banyak sudut kota. Bahkan sebuah terowongan di kawasan Casablanca terendam cukup lama pada Rabu sore itu gara-gara pompanya tak sanggup menyedot air yang terlalu melimpah.
Kerentanan itu membuktikan bahwa turun-ke-bawahnya Jokowi memeriksa gorong-gorong, beberapa waktu lalu, lebih merupakan tindakan simbolis dan bukan langkah konkret. Ia seharusnya memastikan drainase dan pompa-pompa pengisap genangan berfungsi maksimal. Jika memang kapasitas pompa itu kurang, semestinya ditambah atau diganti dengan pompa baru.
Jokowi sebaiknya segera mengganti pejabat Dinas Pekerjaan Umum DKI yang tidak becus bekerja. Ini langkah nyata yang diharapkan publik. Si pejabat bahkan selalu menyalahkan curah hujan ketika muncul genangan di mana-mana. Padahal sederas apa pun hujan tak akan menyebabkan banjir bila sistem drainasenya dibenahi.
Banjir kali ini juga datang jauh lebih cepat daripada program Jokowi membuat 10 ribu sumur resapan. Program ini dimaksudkan untuk mengkompensasi banyaknya daerah resapan yang lenyap. Dalam sepuluh tahun terakhir, daerah resapan air di Jakarta berkurang hingga 50 persen. Akibatnya, dari curah hujan di Jakarta yang mencapai 2 miliar meter kubik tiap tahun, hanya 36 persen yang terserap. Sebagian besar sisanya terbuang ke jalan beraspal, selokan, dan sungai.
Diakui atau tidak, banjir di Jakarta juga tak bisa dilepaskan dari model pembangunan yang sangat kapitalistik. Dipandu oleh logika kapital, yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya, model pembangunan di Jakarta memprioritaskan gerak kapital. Inilah yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air dan kawasan hijau. Banyak kawasan hijau, taman kota, dan rawa-rawa diubah menjadi pusat belanja, permukiman elite, dan hotel.
Diperparah lagi, jumlah drainase atau saluran air semakin berkurang atau menyempit. Banyak drainase dan gorong-gorong yang tertimbun oleh proyek-proyek pembangunan ruko, pusat belanja, dan lain sebagainya. Sudah begitu, sebagian besar sungai di Jakarta mengalami sedimentasi dan tertimbun sampah.
Itu sebabnya, selain menyiapkan pejabat berikut barisan petugas yang disiapkan mengurusi tetek bengek masalah drainase dan pompa air, Jokowi mesti pula berpikir jangka panjang dan komprehensif. Ia harus berani mengubah konsep pembangunan Jakarta sehingga lebih memperhatikan kepentingan seluruh penduduk, dan bukannya segelintir elite dan pemilik modal.